Upaya pelarangan kebiasaan merokok sedang giat-giatnya dilakukan, salah satunya dengan melakukan pengujian materi undang-undang yang mengatur iklan rokok ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Litigasi Untuk Pelarangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Rokok, Seto Mulyadi (Kak Seto) mewakili Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) menggugat Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Selain Kak Seto, Pemohon dalam permohonan ini antara lain, Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Jawa Barat yang diwakili ketuanya DR. dr. Kusnadi Rusmil Sp.A (K), M.M., serta dua orang anak Indonesia, Alfie Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah.
Dalam sidang perdana perkara Nomor 6/PUU-VII/2009 ini, Rabu (11/2), di ruang sidang Pleno MK. Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan Pasal a quo sepanjang frasa “yang memperagakan wujud rokok” karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa rokok mengandung zat yang bersifat adiktif dan karsinogenik (pemicu kanker), sehingga Pemohon menilai Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup dan mempertahankan hidup.
Menurut Muhammad Joni, S.H., M.H., juru bicara Tim Kuasa Hukum Pemohon, Pasal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. “Pasal a quo juga telah merugikan hak tumbuh kembang anak dengan adanya iklan yang masih dibolehkan meskipun dengan aturan tertentu,” terangnya.
Adanya iklan rokok juga dianggap Pemohon telah memberikan informasi yang menyesatkan serta memberi pengaruh pada anak dan remaja untuk menjadi perokok. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Terhadap permohonan Pemohon yang ditulis dalam 114 halaman tersebut, Panel Hakim Konstitusi mengatakan bahwa permohonan tersebut sangat lengkap. Akan tetapi, secara substansi permohonan tersebut masih perlu diperbaiki. Seperti pada bagian Petitum yang dianggap Ketua Panel Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, masih perlu dijelaskan lebih lanjut. “Jadi bukan hanya (frasa) “yang memperagakan wujud rokok”, tapi juga yang menyangkut promosi rokok, betul?” tanya Akil.
“Betul. Tapi ada perubahan revisi Petitum, sehingga butir dua dari Petitum menjadi “sepanjang mengenai frasa yang memperagakan wujud rokok”.” jawab Joni. Sebelumnya, dalam Petitum butir dua tertulis: “sepanjang mengenai frasa promosi rokok yang memperagakan wujud rokok”.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga memuji lengkapnya permohonan Pemohon. Meskipun begitu, Maria menilai bahwa permohonan tersebut “terlalu” lengkap yang menyebabkan Permohonan menjadi tidak jelas. Maria juga meminta Pemohon mengelaborasi permohonannya dengan lebih rinci dan lebih jelas, “karena MK tidak boleh merumuskan norma baru. MK hanya memutus apa yang diminta,” jelasnya.
Senada dengan Maria, anggota Panel Hakim Konstitusi lainnya, Arsyad Sanusi mempertanyakan kejelasan permohonan Pemohon yang ingin menghilangkan empat kata yaitu frasa “yang memperagakan wujud rokok”, dalam ketentuan tersebut. Menurut Arsyad, keempat kata tersebut terikat atau menyatu dalam seluruh kalimat pada Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran. Selain itu, aturan dimaksud juga terkait dengan norma hukum yang ada di pasal lain dalam UU Penyiaran. “Undang-undang tidak bisa dibaca secara parsial, karena undang-undang adalah suatu sistem. Kalau keempat kata tersebut dihilangkan, bagaimana dengan pasal sanksinya?” tanya Arsyad.
Pemohon diharapkan memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari atau sebelum sidang berikutnya diadakan. (Yogi Djatnika)
Dok. Humas MK/Wiwik BW