Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara (KPU Malut) tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (SKLN) terhadap Presiden. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan Putusan 27/SKLN-VI/2008, Selasa (10/2), di ruang sidang pleno MK.
Permohonan tersebut terkait dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 85/P Tahun 2008 yang dianggap mengambil, mengurangi, dan/atau mengabaikan kewenangan konstitusional KPU Malut dalam menetapkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih sebagai tindak lanjut hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Malut.
Menurut MK, ketiadaan legal standing karena dari syarat subjectum litis (pihak yang bersengketa) maupun objectum litis (kewenangan yang dipersengketakan) bukanlah ruang lingkup permohonan SKLN.
“Dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 juncto Pasal 1 butir 4 UU 22/2007, komisi pemilihan umum (huruf kecil) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan konstitusional sebagai penyelenggara Pemilu adalah KPU atau Komisi Pemilihan Umum dengan huruf K besar, P besar, dan U besar, sedangkan KPU provinsi in casu KPU Provinsi Maluku Utara bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, melainkan hanya merupakan organ KPU yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang in casu UU 22/2007, bukan oleh UUD 1945,” jelas Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar membacakan Pertimbangan Putusan.
Lebih lanjut, terkait dengan dalil KPU Malut telah mendapatkan mandat penuh dari KPU untuk menindaklanjuti penyelesaian kasus Pemilukada Malut, MK berpendapat suatu kewenangan konstitusional tidak mungkin dilimpahkan kepada organ atau aparat di bawahnya, in casu kewenangan KPU yang diberikan oleh UUD 1945 dilimpahkan kepada KPU provinsi.
“Pada hakikatnya, KPU provinsi sebagai organ bawahan KPU hanya sebagai aparat pelaksana saja dari KPU, bukan pengambil alih kewenangan KPU. Dalam Pasal 122 ayat (3) UU 22/2007 bahkan KPU-lah yang berwenang mengambil alih kewenangan KPU provinsi dalam melaksanakan suatu tahapan Pemilu, bukan sebaliknya,” ujar Mukthie.
Menurut MK pula, Surat KPU bukanlah surat mandat atau surat kuasa khusus agar KPU provinsi melakukan gugatan atau permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara di Mahkamah dengan Presiden RI sebagai Termohon, melainkan surat biasa yang mempersilakan KPU Provinsi Malut menindaklanjuti permasalahan Pemilukada Malut.
Surat KPU Nomor 2838/15/X/2008 bertanggal 17 Oktober 2008 yang ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi Maluku Utara tersebut selengkapnya menyatakan, “Menindaklanjuti Surat Saudara Nomor 270/225/KPU/2008 tanggal 10 Oktober 2008 perihal tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum menyerahkan sepenuhnya kepada KPU Provinsi Maluku Utara untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Bagi MK, kata “menindaklanjuti” dalam surat tersebut bersifat umum sehingga sangat kabur, dapat dilakukan dalam bermacam-macam bentuk, dan tidak khusus untuk mengajukan permohonan SKLN ke Mahkamah.
Terkait dengan kewenangan yang dipersengketakan atau objectum, menurut MK, kewenangan KPUD/KPU provinsi untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang meliputi juga kewenangan untuk menetapkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, bukanlah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, melainkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, dalam hal ini UU 32/2004 juncto UU 22/2007.
“Dari syarat subjectum litis maupun objectum litis, permohonan Pemohon (KPU Provinsi Maluku Utara) bukanlah termasuk ruang lingkup permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” ucap Ketua MK, Moh. Mahfud MD. Dengan demikian, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Terhadap putusan ini, tiga Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda, yaitu Maruarar Siahaan, M. Akil Mochtar, dan M. Arsyad Sanusi yang menganggap KPU Provinsi Malut mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan MK seyogianya memeriksa pokok perkara (bodem geschil). (Luthfi Widagdo Eddyono)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW