Tembakau jenis Virginia menempati posisi sentral di Indonesia karena dominan dipakai sebagai bahan rokok. Dari 180 ribu ton hasil tembakau Virginia, 35 ribu ton masih impor dari luar negeri dan 40 ribu ton berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, sebagai penghasil tembakau terbesar di Indonesia, NTB tidak pernah mendapatkan cukai hasil tembakau hanya karena tidak ada pabrik rokok di NTB.
Hal ini disampaikan Ahli dari Pemohon, DR. Prayitno Basuki, dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai) yang dimohonkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat, H.M. Zainul Majdi, MA, Selasa (10/2), di ruang sidang pleno MK.
Pemohon perkara Nomor 54/PUU-VI/2008 ini meminta MK membatalkan Pasal 66A ayat (1) UU Cukai karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 66A ayat (1) menyatakan: Penerimaan Negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Secara ekonomi, lanjut Basuki, Pemohon mengalami kerugian konstitusional karena NTB tidak menerima dua persen cukai tembakau senilai Rp. 230 miliar yang bisa digunakan untuk program peningkatan produktivitas, kemitraan, pembinaan sosial, dan pengelolaan konservasi lahan. “Padahal, untuk pengembangan tembakau nasional sampai tahun 2020, pemerintah menempatkan provinsi NTB khusus sebagai penyokong tembakau Virginia,” papar Basuki.
Berdasarkan perbandingan dengan Amerika sebagai negara penghasil tembakau, Basuki menerangkan bahwa seharusnya pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan, antara lain, melakukan pembelian produk tembakau petani untuk menstimulasi produksi, memfasilitasi pengembangan produktivitas tembakau, memperbaiki pemukiman petani, “dan membuat sertifikasi untuk pengembangan kualitas tembakau,” ujar Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram ini.
Menambah keterangan Basuki, Ahli dari Pemohon Dr. Ir. Samsuri menjelaskan, yang menjadi isu global saat ini ialah penanaman tembakau dengan memakai bahan berbahaya serendah mungkin untuk menekan kerusakan lingkungan supaya tidak merugikan masyarakat. Untuk itu, baik petani, masyarakat, dan pemerintah diharuskan mampu menerapkan good agricultural practices. Kesuksesan program ini, lanjut Samsuri, ditunjang oleh tersedianya dana dari pemerintah pusat.
Berdasarkan penelitian Samsuri, satu batang rokok membutuhkan 10 sampai 25 persen tembakau Virginia. NTB, menurut Samsuri, bisa memenuhi kebutuhan itu dengan bantuan pemerintah pusat.
Untuk itu, dalam penafsiran Samsuri terhadap Pasal a quo, NTB seharusnya juga menerima dua persen hasil cukai karena NTB termasuk penyuplai bahan baku utama rokok. “Jika Kabupaten Pasuruan yang hanya mempunyai 150 hektar lahan tembakau bisa dapat cukai, mengapa Lombok (NTB) yang memiliki 20 ribu hektar lahan tembakau, justru tidak dapat cukai?” tanya Samsuri.
Memperkuat keterangan Ahli tersebut, Saksi Kepala Dinas Perkebunan Provinsi NTB, Mawari Haikal, menerangkan bahwa tantangan petani tembakau, antara lain, pada persoalan permodalan, persaingan ketat pemasaran terkait mutu, dan belum adanya lembaga agribisnis yang terpadu. Sedangkan peluang bagi petani tembakau, antara lain, terbukanya peluang di pasar internasional dan permintaan jumlah serta mutu yang meningkat. “Soal (peningkatan) mutu, perlu ada implementasi undang-undang Cukai untuk bisa turut membantu NTB (melalui penerimaan Cukai),” kata Haikal.
Selama ini, lanjut Haikal, NTB belum pernah merasakan cukai tembakau sehingga provinsi ini menanam tembakau bermodalkan kemampuan seadanya. “Kami berharap cukai tembakau ini, alangkah tepatnya, kalau dialokasikan ke NTB yang 70 sampai 80 persen mendukung produksi tembakau nasional,” urai Haikal.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi NTB, Lalu Suparman, menerangkan bahwa selama ini NTB belum pernah menerima cukai tembakau. “Mudah-mudahan apa yang kami hajatkan (MK mengabulkan permohonan red.) bisa terpenuhi sehingga pemerintah NTB mampu membina petani dan pemeliharan lingkungan,” pintanya.
Dari sisi pengusaha, Pemangku Kemitraan PT Djarum, Iskandar, menjelaskan bahwa nilai utama tembakau terletak pada mutu dan permintaan konsumen. NTB, terang Iskandar, mampu menghasilkan 40 ribu ton krosok tembakau. Setiap batang rokok perlu enam hingga delapan gram krosok. Maka, dari NTB menghasilkan 30 miliar batang rokok per tahun. Berdasarkan kalkulasi tersebut, produksi sekarang berkisar antara 200 hingga 290 miliar batang. “Ini perlu dukungan dari pemerintah (pusat). Keterbatasan pemerintah daerah ialah belum ada kontribusi (dana) yang besar karena terkait prioritas pembiayaan,” jelas Iskandar.
Jika NTB turut menerima cukai, menurut Iskandar, hal itu akan membantu mewujudkan misi tiga B: better farming (meningkatkan kualitas tembakau dan lingkungan), better business (meningkatkan pemasaran), better living (meningkatkan kesejahteraan petani).
Menambah keterangan Iskandar, Saksi Pengusaha Tembakau di NTB, Albertus Magnus Sunarso, menjelaskan bahwa Indonesia masih mengimpor 30 ribu ton per tahun dari negara lain seperti China dan Zimbabwe karena mutu tembakau Indonesia masih tergolong rendah. “Jika bisa meningkatkan mutu tembakau Virginia, Indonesia bisa mengurangi impor,” kata Sunarso.
Tambah Sunarso, pengembangan pertanian tembakau berpotensi menyerap tenaga kerja. NTB memiliki potensi besar karena dari 60 ribu hektar lahan, baru bisa dimanfaatkan 20 ribu hektar. Dukungan cukai, menurut Sunarso, mampu turut membuka lapangan kerja dan peningkatan kualitas tembakau, serta upaya konservasi lingkungan dan lahan.
Alokasi dana cukai ini, urai Sunarso, untuk memenuhi tiga prinsip dana alokasi, antara lain, untuk membenahi kelembagaan petani tembakau, memajukan teknologi budidaya yang bertanggungjawab, dan meningkatkan kehandalan petani dalam meningkatkan kualitas tembakau.
Mulai tahun ini, papar Sunarso, pemerintah mengambil kebijakan menarik subsidi minyak tanah untuk petani tembakau dan menggantinya dengan konversi batubara. Untuk itu, perlu dana konversi untuk alih teknologi dari minyak tanah ke batubara. “Batubara tidak bersubsidi. Dana alokasi cukai ini sangat diperlukan membantu petani,” katanya.
Senada dengan Sunarso, Ketua Asosiasi Petani Tembakau di NTB, Lalu Hatman, mengharapkan petani tembakau NTB juga menerima dana cukai sebagaimana yang dirasakan petani tembakau di Jawa karena mereka harus membiayai alih teknologi konversi dari minyak tanah ke batubara. “Terus terang kami kekurangan biaya untuk mengubah tungku kami, oven kami. Per unit 10 juta kami keluarkan untuk investasi itu. Mohon Majelis Hakim mempertimbangkan supaya kami (petani tembakau) dari NTB ini dapat kucuran (dana cukai) dari pemerintah pusat,” terang Hatman. Jumlah oven yang harus dikonversi ialah 15 ribu unit.
Menanggapi penjelasan Ahli dan Saksi di atas, Majelis Hakim Konstitusi menanyakan jika Pasal a quo dihapus, apa hal itu tidak merugikan NTB karena tidak ada lagi dasar hukum untuk mengklaim cukai tembakau bagi Provinsi NTB. “Ada sekitar 23 ribu pekerja. Jika Pasal (66A ayat (1)) ini dicabut, semua pihak akan tidak dapat (cukai). Apalagi, MK sendiri tidak bisa membuat pasal baru, hanya bisa menegasikan pasal dalam undang-undang,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Menanggapi hal tersebut, Pemohon melalui Kuasa Hukumnya, Andy Hadiyanto, menegaskan bahwa mereka memang meminta dibatalkannya keberlakuan Pasal 66A ayat (1). “Dengan tidak berlakunya pasal tersebut, kami berharap pemerintah (pusat) mau mengubah ketentuan ini karena melihat kesulitan petani,” jelasnya.
Menurut Pemohon, frasa “provinsi penghasil cukai tembakau” dalam Pasal a quo ini tidak jelas. ‘”Fakta di lapangan yang mendapat bagian itu (provinsi) yang punya pabrik rokok. Yang pokok, ialah bagaimana akami mendapat bagian cukai ini, karena NTB termasuk provinsi yang berkontribusi bagi penerima cukai tembakau,” katanya. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Denny Feishal