Mahkamah Konstitusi menyidangkan perkara Nomor 4/PUU-VI/2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Kamis (5/2), di ruang sidang pleno MK.
Pasal 12 huruf g menyebutkan: “Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Pasal 50 ayat (1) huruf g menyebutkan: “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan : tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Sidang perdana yang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan ini dimohonkan oleh Robertus, warga Pagar Alam, Sumatera Selatan, yang pernah dijatuhi pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “Pemohon terlibat kasus penganiayaan dan sudah (terjadi) 31 tahun yang lalu,” kata Zairin Harahap, Kuasa Hukum Pemohon.
Pemohon beralasan pasal tersebut melanggar hak konstitusionalnya untuk berpolitik dengan menjadi calon legislatif. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
Menanggapi permohonan ini, Ketua Panel Hakim Abdul Mukthie Fadjar menerangkan bahwa telah banyak undang-undang yang memuat ketentuan serupa, yang telah diperiksa oleh MK. “Mahkamah sudah punya pendirian soal itu. Kita sudah mendengar (keterangan) pemerintah, DPR, dan ahli,” jelas Mukthie.
Dalam substansi yang sama, sambung Mukthie, pemohon harus bisa menunjukkan argumentasi-argumentasi baru yang bisa mengubah pendirian MK. Indonesia tidak menganut sistem preseden karena putusannya selalu dinamik. “Apakah ahli akan bisa menampilkan argumentasi baru yang bisa mengubah pendapat Mahkamah terhadap putusan terdahulu?” tanya Mukthie memastikan.
Menjawab pertanyaan Mukthie, Zairin mengaku pihaknya sudah membaca putusan MK sebelumnya yang terkait persoalan syarat pidana lima tahun penjara ini. “Dan insyaallah ahli (dari Pemohon) akan memberi argumentasi yang baru terhadap perkara ini,” ujarnya sembari menyanggupi memperbaiki permohonannya. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF