Pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2009 didesain untuk menciptakan parlemen yang terdiri dari multipartai sederhana. Oleh karenanya, diterapkanlah ambang batas 2,5 persen atau yang lebih dikenal dengan parliamentary threshold bagi partai politik (parpol) peserta pemilu.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), yang di-judicial review oleh sebelas parpol antara lain, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK Indonesia), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Pangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka. Selain parpol, calon anggota legislatif dan anggota partai politik turut memohonkan pengujian.
Menurut para Pemohon perkara 3/PUU-VII/2009 ini, sistem ambang batas sebenarnya diterapkan di negara bersistem parlementer, bukan presidensiil. Mereka juga menilai pasal 202 ini manipulatif karena tidak membuka kesempatan bagi calon anggota legislatif independen sebagaimana diterapkan di negara bersistem parlementer.
Selain itu, para Pemohon juga mendasarkan gugatannya pada putusan MK Nomor 22&24/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa legitimasi seseorang untuk menjadi anggota legislatif ialah berdasarkan suara terbanyak. Dari segi keterwakilan, menurut para Pemohon, Pasal 202 dinilai buruk karena, bagi kaum minoritas, akan sulit menempatkan wakil-wakil mereka.
Untuk membahas persoalan ini, pada sidang yang berlangsung Rabu (4/2), para Pemohon mendatangkan Ahli Hukum Prof. Philipus M. Hadjon dan Lodewijk Gultom. Sementara pihak pemerintah mendatangkan Ahli Hukum Zudan Arif Fakrulloh dan Peneliti Politik Lili Romli.
Ahli Pemohon, Philipus M. Hadjon menyatakan penerapan ambang batas itu tidak rasional karena bertentangan dengan prinsip persamaan hak di hadapan hukum. Hadjon juga menilai Pasal 202 ini merupakan buah kebijakan legislator, Pemerintah dan DPR, yang sewenang-wenang. “Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang,” katanya.
Senada dengan Hadjon, Lodewijk Gultom mengingatkan semua pihak tentang asas pengayoman, artinya, semua warganegara yang terlibat dalam pemilu mendapat perlindungan secara hukum dan konstitusi. “Namun, Pasal 202 ayat (1) ini sangat rentan mendiskriminasi warganegara yang memperoleh hak pilihnya,” jelas Gultom.
Berlainan dengan pendapat para Ahli dari Pemohon, Ahli dari Pemerintah Zudan Arif Fakrulloh menyatakan tidak ada diskriminasi dalam Pasal 202. Dalam aturan tersebut, subyek hukumnya ialah parpol peserta pemilu, tidak bicara siapa peserta pemilu, tidak bicara partai besar atau partai kecil. “Semua setara,” tandasnya.
Norma Pasal 202, lanjut Zudan, ditetapkan sebelum pemilu dilaksanakan dengan memberi kesempatan yang sama yaitu harus meraih ambang batas 2,5 persen. “Partai besar-kecil baru diketahui setelah pemilu. Golkar atau PDI P belum tentu lolos 2,5 persen. Jadi, tidak ada diskriminasi dan ketidaksamaan hukum,” tegasnya.
Turut menambahkan, Peneliti Politik Lili Ramli memaparkan bahwa keinginan sekelompok orang membentuk parpol ternyata tidak berbanding lurus dengan kehendak masyarakat supaya jumlah parpol diperkecil.
Selain itu, Lili juga menjelaskan bahwa parlemen yang multipartai cenderung memperlemah tata-kelola pemerintahan. Parlemen akan sulit mencapai konsensus, baik di antara partai itu sendiri maupun antara parlemen dengan pemerintah. “Pengambilan keputusan bisa bertele-tele dan lama,” urainya. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF