Jakarta - Sanksi pencabutan izin media massa cetak jika ada pelanggaran dalam iklan kampanye di UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) digugat. Sejak era eformasi, tak ada lagi izin untuk mendirikan media massa, yang ada hanya badan hukum.
"Dalam Pasal 99 UU Pemilu terdapat sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Yang namanya pers cetak, sudah tidak ada lagi izinnya," jelas ahli dari pemohon uji materi UU Pemilu, Kamsul Hasan.
Hal itu disampaikan Kamsul dalam sidang uji materi UU Pemilu pasal 93-99 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (22/1/2009).
Kamsul yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya (PWI Jaya) menjelaskan, sejak era reformasi dan terbitnya UU Nomor 40/1999 tentang Pers terbit, maka tidak ada lagi Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) yang biasanya dicabut saat era Orde Baru (Orba).
"SIUP sama sekali ditiadakan. Pers cetak diperkenankan berdiri hanya dengan badan hukum. Media cetak tidak lagi punya izin sekarang. Jadi apa yang akan dibekukan? Perseroan Terbatasnya atau apa-nya?," gugat Kamsul.
Kalau sanksi yang tercantum dalam Pasal 99 ayat 1 huruf f itu dilakukan, imbuh dia, maka akan bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. "Itu bertentangan dengan kemerdekaan pers, bertentangan dengan pasal 28 UUD," ujar dia.
Karena itu, jika ada sanksi dalam pelanggaran iklan kampanye pemilu, cukup sanksinya mengacu pada UU 32/2002 tentang Penyiaran, yaitu denda maksimal Rp 500 juta.
Sementara Kuasa Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pataniari Siahaan menjelaskan usai persidangan, bahwa sanksi dalam iklan pemilu ini dibuat karena bersifat khusus atau lex spesialis.
Iklan Pemilu, imbuh Pataniari, adalah iklan yang berisi pesan-pesan politik, yang berbeda dengan iklan umum. DPR dalam UU Pemilu justru ingin ketat mengatur iklan kampanye agar tidak terjadi dominasi iklan dari parpol yang bermodal besar.
"Bagaimana kalau ada perusahaan yang punya dana besar, yang bisa memblok semua tempat? Ini yang mau kita jaga, agar terjadi kesempatan yang sama," jelas dia.
"Lagi pula itu kan sanksi paling berat. Yang menjatuhkan KPU, KPI dan Dewan Pers, dan itu dilihat dulu pelanggarannya berat atau tidak, tidak langsung dijatuhkan. Sanksi itu kan "kalau", kalau tidak dilanggar ya tidak ada apa-apa," ujar Pataniari.
Sebelumnya pemohon yang terdiri dari 9 pemred yakni Pempred Terbit Tarman Azzam, Pempred Sinar Harapan Kristanto Hartadi, Pemred Suara Merdeka Sasongko Tedjo, Pemred Rakyat Merdeka Ratna Susilowati, Pemred Bangsa Badiri Siahaan, Pemred Koran Jakarta Marten Slamet Susanto, Pemred Warta Kota Dedy Pristiwanto, Pemred Cek & Ricek Ilham Bintang, dan kuasa hukumnya Torozatulo Mendrofa, mengajukan judicial review atas pasal 93-99 UU Pemilu.
Dalam pasal tersebut terutama pasal 93 ayat 3 berisi media massa wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
Menurut pemohon, ketentuan itu tidak mejelaskan bagaimana solusinya bila tidak ada peserta kampanye yang tidak punya uang atau tidak ada pihak yang mau bekerjasama dengan peserta kampanye. Padahal iklan adalah sumber pembiayaan keberlangsungannya media massa.
Pemohon juga mempermasalahkan sanksi pencabutan izin media dalam Pasal 99 UU Pemilu. ( nwk / anw ) - Nograhany Widhi K - detikPemilu
Sumber: www.detik.com
Foto Dokumentasi Humas MK (Andhini)