Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan perkara sebelas partai politik (parpol) peserta pemilihan umum (pemilu) 2009 yang menggugat keberlakuan sistem ambang batas untuk memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (21/1), di ruang sidang Pleno MK.
Kesebelas parpol itu antara lain, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK Indonesia), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Pangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka yang baru ditetapkan sebagai Pemohon saat sidang pemeriksaan pendahuluan digelar.
Selain parpol, yang menjadi pemohon dalam perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 ini adalah calon anggota legislatif 2009 dan anggota partai politik peserta pemilu 2009. Mereka menguji eksistensi Pasal 202 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 202 ayat (1) yang diuji oleh para Pemohon, berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.”
Menurut Pemohon, sistem ambang batas sebenarnya diterapkan di negara bersistem parlementer, bukan presidensiil. Pemohon menilai pasal yang diuji ini manipulatif karena tidak membuka kesempatan bagi calon anggota legislatif independen sebagaimana diterapkan di negara bersistem parlementer. “Selain itu, pasal (202 ayat (1)) ini tidak menerapkan sistem minoritas yaitu suatu sistem di mana jika seseorang mendapat suara terbanyak di suatu daerah, maka secara otomatis dia berhak menjadi anggota DPR meskipun partainya tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan,” jelas Kuasa Hukum Pemohon, Patra M. Zen.
Pemohon mendasarkan gugatannya pada putusan MK sebelumnya Nomor 22&24/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa dasar dari legitimasi seseorang untuk menjadi anggota legislatif ialah berdasarkan suara terbanyak. “Dari segi keterwakilan, pasal ini dinilai buruk karena bagi kaum minoritas akan sulit menempatkan wakil-wakil mereka (di DPR),” tambah Patra.
Menindaklanjuti permintaan Pemohon untuk mempercepat persidangan, juga untuk menepati agenda pemilu yang dimulai 9 April 2009, MK telah merancang sidang berikutnya akan berlangsung Kamis (29/1), pukul 11.00 WIB. “Jika mau memperbaiki (permohonan), kalau perlu sehari besok sudah diperbaiki,” nasihat Ketua Panel Hakim, Abdul Mukthie Fadjar.
Sidang berikutnya adalah pleno untuk mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan ahli dari Pemohon. “Kami berharap pertengahan Februari sudah kami putus,” tandas Mukthie. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF