Salah satu ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) yang terjadwal dan berkala. Oleh karenanya, tanpa terselenggaranya pemilu maka hilanglah sifat demokratis suatu negara. Demikian pula, agar sifat negara demokratis tersebut dapat terjamin oleh adanya pemilu, maka penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara berkualitas.
Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD, saat membuka acara temu wicara MK dengan partai-partai politik (parpol) peserta Pemilu 2009, Jumat (16/1), di Jakarta. Mahfud juga menambahkan bahwa pemilu yang berkualitas adalah pemilu yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat tanpa ada kekerasan-kekerasan, termasuk kekerasan politik.
Pada masa lalu, urai Mahfud, meskipun pemilu dilaksanakan secara berkala, tetapi selalu diiringi oleh adanya kekerasan politik yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat. ”Salah satunya melalui undang-undang parpol yang membatasi jumlah parpol hanya sebanyak tiga saja,” papar Mahfud.
Untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas maka diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan-kekerasan politik. Pada titik inilah, menurut Mahfud, pentingnya pemahaman terhadap peran MK sebagai lembaga peradilan yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Pemahaman tersebut, tambahnya, tidak hanya penting diketahui oleh penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum atau KPU) tetapi juga oleh para peserta pemilu. ”Sehingga masing-masing tidak kehilangan haknya,” jelas Mahfud.
Bukan Caleg
Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa peserta pemilu legislatif adalah partai politik sehingga sengketa pemilu pada hakikatnya merupakan sengketa antara penyelenggara pemilu (KPU) dengan partai politik, bukan calon anggota legislatif (caleg).
”Oleh karena itu, yang bisa maju ke MK (untuk menggugat hasil pemilu-red) adalah partainya bukan orangnya (caleg). Jadi bila calegnya merasa dirugikan, minta partainya yang mewakili,” kata Mahfud. Satu-satunya unsur perorangan yang dapat mengajukan gugatan hasil pemilu legislatif ke MK adalah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Mengingat MK telah memutuskan bahwa perhitungan calon terpilih didasarkan pada suara terbanyak, maka sengketa antar caleg dalam satu parpol berpotensi besar dapat terjadi. Bila yang terjadi adalah hal demikian, Mahfud menjelaskan sengketa tersebut merupakan wilayah kewenangan peradilan umum. ”Selesaikan dulu sengketa internal partai tersebut di pengadilan umum, baru dapat dibawa ke MK,” jelasnya.
Berkaitan dengan putusan MK mengenai suara terbanyak, Mahfud mengaku MK menerima banyak kritik dari berbagai pihak karena putusan tersebut dianggap akan menyuburkan praktik jual beli suara.
Menanggapi hal tersebut, Mahfud menilai setiap putusan selalu memiliki dampak baik dan buruk. Akan tetapi, kata Mahfud, MK menganggap pemilu yang memenuhi nilai-nilai demokrasi adalah pemilu yang didasarkan atas suara rakyat, bukan nomor urut yang disusun oleh parpol.
Mahfud juga menambahkan, sebelum adanya putusan MK, potensi timbulnya permainan uang dapat terjadi saat penentuan nomor urut caleg oleh pengurus partai. Sementara setelah putusan MK yang menetapkan suara terbanyak, politik uangnya akan langsung dari caleg ke rakyat yang akan memilihnya. ”Tinggal dipilih mana yang lebih baik, membeli suara secara eceran langsung ke rakyat atau borongan ke pengurus partai,” tandas Mahfud.
Temu Wicara yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK ini merupakan angkatan kedua dengan diikuti oleh perwakilan dari 22 partai politik peserta Pemilu 2009. Melalui acara ini, para peserta diberikan pemahaman mengenai hukum dan pedoman beracara di MK untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu serta teknis dan prosedur pengajuan gugatan hasil pemilu. Materi-materi tersebut diberikan oleh para narasumber yang terdiri atas hakim konstitusi, mantan hakim konstitusi, Ketua KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pejabat Kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), serta Mahkamah Agung (MA).
Namun, hingga berita ini diturunkan, selama tiga hari pelaksanaan temu wicara, hanya narasumber Hakim Agung Djoko Sarwoko, yang mewakili MA, tidak bisa hadir tanpa alasan yang jelas. Panitia (MK red.), menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Janedjri M. Gaffar memang tidak memperoleh konfirmasi ketidakhadiran dari yang bersangkutan, namun berdasarkan hasil rapat koordinasi enam lembaga (MK, MA, Polri, Bawaslu, KPU, dan Kejagung), telah dibentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang digawangi MA, Bawaslu, Polri, dan Kejagung untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu dalam batas waktu lima hari. ”Kami semua telah komitmen menjaga agenda pemilu ini,” tegas Janedjri di depan peserta temu wicara, Minggu (18/1).
Usai presentasi Sekjen MK, dalam ceramah penutupan acara temu wicara ini, Wakil Ketua MK, Abdul Mukthie Fadjar berharap pemilu legislatif dan presiden tahun 2009 ini akan berlangsung aman dan lebih baik dari tahun 2004 yang lalu, dan setiap parpol peserta pemilu mampu membangun dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa. ”Setiap parpol boleh bersaing dalam pemilu, tetapi harus tetap bersatu,” tegasnya. [ardli/wiwik]
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF