Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPH) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, Kamis (15/1), di ruang Sidang Panel Gedung MK, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara Nomor 1/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh DR. Gustian Djuanda, S.E.M.M yang berprofesi sebagai Dosen STEKPI School of Business and Management, Jakarta Selatan.
Ada beberapa pasal dalam UU Pajak Penghasilan yang menjadi pokok permasalahan dari perkara ini, antara lain, Pasal 7 Ayat (1) yang menyatakan:
“Penghasilan Tidak Kena Pajak per Tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.”
Selain itu, Pemohon juga menguji Pasal 9 Ayat (1) huruf g yang menyatakan:
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pemohon mendalilkan bahwa dengan adanya pasal-pasal tersebut menyebabkan beban hidup Pemohon semakin berat karena kecilnya fasilitas pengurangan pajak yang diterima Pemohon sebagai Wajib Pajak Warga Negara Indonesia dengan:
a. Dihapuskannya Zakat sebagai pengurang pajak penghasilan pada Pasal 9 ayat (1) huruf g pada UU PPH.
b. Besarnya Penetapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada Pasal 7 UU PPH tidak berdasarkan Kebutuhan Hidup.Minimum.
c. PTKP untuk Istri Tidak Bekerja seperti tercantum pada Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPH lebih rendah dibanding PTKP Istri Bekerja seperti tercantum pada Pasal 7 ayat (I) huruf c UU PPH.
d. PTKP Tanggungan seperti tercantum pada Pasal 7 ayat (1) huruf d UU PPH yaitu hanya 8,3 % dari PTKP Wajib Pajak lebih rendah dibanding PTKP Tanggungan seperti tercantum pada Pasal 7 ayat (I) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yaitu 50% dari PTKP Wajib Pajak.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan terjadinya ketidakadilan dalam pembebanan pajak berupa:
a. Fasilitas Pemberian Tunjangan Pajak kepada pegawai oleh pemberi Kerja yang diperbolehkan oleh Dirjen Pajak seperti tercantum dalam Formulir SPT 1721 Al no 2 merupakan sebuah ketidakadilan dalam pembebanan Pajak secara rill yang dirasakan bagi Pegawai yang tidak mendapat fasilitas Tunjangan Pajak dari Pemberi Kerja. Pada kenyataan Tunjangan Pajak ini sangat dirasakan manfaatnya oleh Level Top Manajemen Perusahaan atau Institusi dan Tenaga Ahli Asing yang bekerja di Indonesia sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri.
b. Tidak ada pasal eksplisit tentang pemberian Fasilitas Tunjangan Pajak pada UU PPH dinilai bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28D Ayat (2).
Untuk itu, dalam petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d dan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPH bertentangan dan melanggar Pasal 27 ayat (2), Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. (Prana Patrayoga Adiputra)
Foto: Dok. Humas MK/Yoga Adiputra