“Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) semestinya gembira dengan adanya tuntutan kami, karena partainya sendiri tak mencapai syarat 20 persen kursi pada pemilu lalu. Jadi, kami menghimbau kepada SBY, dukunglah permohonan yang kami usung ini,” ujar M. Fadjroel Rachman dalam konferensi pers usai sidang uji materi Undang-Undang No. 42/2008 (UU Pilpres) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (13/1).
Sidang ini memproses empat perkara pemohonan uji materi Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres yang dimohonkan oleh dua orang yang mendeklarasikan diri sebagai calon presiden (capres) dari jalur non partai politik atau perseorangan (independen), yakni Saurip Kadi dan M. Fadjroel Rahman, dan beberapa partai politik (parpol) peserta pemilihan umum (Pemilu) 2009 yakni Partai Bulan Bintang, Partai Hanura, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara.
Fadjroel dan Saurip Kadi menganggap beberapa pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 karena menutup pintu bagi munculnya calon presiden selain dari jalur partai politik (parpol). “Hak rakyat untuk menjadi maupun memilih capres selain dari jalur parpol terdistorsi dengan adanya aturan yang memberi hak eksklusif pada parpol untuk menjadi penentu capres. Hasilnya, rakyat memilih capres pilihan parpol, bukan capres pilihannya sendiri,” jelas Kuasa Hukum Fadjroel Rachman, Taufik Basari.
Taufik menyebutkan pihaknya tidak menghalangi parpol untuk mengajukan capres. “Namun hak tersebut seharusnya tidak dimonopoli parpol. Biarlah rakyat yang memilih,” ucap Taufik.
Menanggapi pernyataan Taufik, Kuasa Hukum DPR, Lukman Hakim Syaifudin menegaskan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara gamblang mengatur pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. “Pengusulnya hanya parpol karena kami ingin membangun sistem yang mengatur bahwa aspirasi masyarakat harus dilembagakan. Pelembagaan aspirasi itulah hakikat parpol. Aturan ini sama sekali bukan kepentingan parpol. Aturan ini dibentuk oleh MPR yang saat itu terdiri dari parpol, utusan golongan, utusan daerah, dan ABRI,” jelas Lukman.
Lukman juga menyatakan pemilihan presiden ini tidak bisa disamakan dengan pemilukada yang, dengan adanya putusan MK, membuka kesempatan hadirnya calon dari jalur non parpol. “Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis. Dengan begitu aturan rincinya bisa lebih terbuka. Ini berbeda dengan aturan tentang pencalonan Presiden yang secara eksplisit mengatur bahwa pasangan capres-cawapres hanya diusulkan oleh parpol,” terangnya.
Sementara itu, PBB dan enam parpol lainnya menggugat UU Pilpres dengan menyatakan syarat minimal 20% perolehan kursi di DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945. Kuasa Hukum PBB, Yusril Ihza Mahendra, mengingatkan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak memberi kesempatan bagi UU untuk memberi tambahan syarat. “UUD 1945 tidak memberi amanat kepada undang-undang untuk menentukan angka persentase. Dengan demikian, penambahan syarat 20 dan 25 persen itu berarti pembentuk undang-undang telah melanggar hak parpol”, ucap Yusril.
Ia pun mengungkapkan bahwa realita politik tidak menunjukkan adanya hubungan antara persentase perolehan suara dengan terpilihnya presiden. “Pada pemilu 2004, justru SBY dari Partai Demokrat yang hanya mendapat kurang dari 10 persen kursilah yang terpilih,“ ungkap Yusril.
Terhadap permohonan ketujuh parpol ini, Kuasa Hukum pihak DPR dan Pemerintah sama-sama menegaskan bahwa aturan persentase ini dibuat oleh pihaknya tanpa bermaksud mendiskriminasi parpol manapun. “Adanya aturan ini sama sekali tidak bermaksud mendiskriminasi. Ini adalah kesepakatan politik yang sifatnya regulasi, bukan membatasi,“ jelas Lukman.
Penjelasan Lukman ini sejalan dengan pendapat Anggota DPR, Pataniari Siahaan, yang menyatakan bahwa adanya kata “gabungan parpol“, dan bukan hanya “parpol“ dalam UU Pilpres, tidak menyebabkan kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan pemohon. “Tetapi timbul persoalan. Pemilu belum terjadi, kok sudah ada yang merasa rugi,“ tanya Pataniari retoris. (Kencana Suluh Hikmah)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW