Para ahli yang dihadirkan pihak Pemohon dan Termohon saling memberikan bantahan saat menyampaikan keterangan dalam sidang sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku Utara (Malut) melawan Presiden RI, Kamis (8/1) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Para ahli yang hadir dalam persidangan tersebut antara lain M. Fajrul Falaakh (ahli tata negara UGM), H.M. Hadin Muhjad (ahli tata negara dan pemilu), Indria Samego (ahli politik LIPI), dan Boenyamin Mangkoedilaga (mantan Hakim Agung). Keempat ahli tersebut diajukan oleh Termohon, yakni KPU Malut. Sementara Presiden yang menjadi Termohon menghadirkan Satya Arinanto (ahli tata negara UI), A. Irman Putra Sidin (Direktur Indonesia Legal Roundtable), Hadar N. Gumay (Direktur Cetro), Suharnoko (ahli hukum perdata UI), Zudan Arif Faturullah (ahli hukum administrasi negara), J. Kristiadi (pakar politik CSIS), dan Anna Erliana ( ahli hukum administrasi negara UI).
Fajrul Falaakh, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan Pemohon menyampaikan bahwa kewenangan pelaksanaan pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945 diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional dan hirarkis. Sementara untuk melaksanakan pemilu kepala daerah, menurut Fajrul, KPU memberikan kewenangan delegatif kepada KPU Daerah. Dengan demikian Fajrul berpendapat, KPUD juga merupakan lembaga negara karena memiliki kewenangan delegatif dari lembaga negara, yakni KPU.
Namun pendapat tersebut dibantah oleh A. Irman Putra Sidin dan Zudan Arif Faturullah, ahli yang diajukan oleh Termohon. Irman, meskipun sependapat bahwa KPUD merupakan lembaga negara namun ia menganggap KPUD tidak memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sementara lembaga negara yang memiliki legal standing untuk berperkara di MK adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Menurut Irman, lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk melaksanakan pemilu adalah KPU. “KPUD adalah organ subordinat,” kata Irman.
Irman juga menilai KPUD tidak memiliki kepentingan langsung terhadap Keputusan Presiden tentang penetapan pasangan gubernur dan wakil gubernur sehingga tidak relevan mengajukan perkara ke MK. Ia menganggap apabila KPUD merasa memiliki kepentingan, maka KPUD telah berpihak dan tidak independen dalam melaksanakan tahapan pemilukada.
Pendapat tersebut didukung oleh Zudan yang menilai sebuah lembaga subordinat tidak dapat mewakili lembaga superordinatnya tanpa mandat atau surat kuasa khusus. Sehingga menurut Zudan KPUD tidak bisa mewakili KPU dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Sebaliknya, ahli Pemohon lainnya, H.M. Hadin Muhjad menilai UUD 1945 telah memberikan kewenangan kepada KPUD untuk menyelenggarakan pemilu. Menurut ahli tatanegara dan pemilu ini, Pasal 18 UUD 1945 secara tidak langsung telah memberikan kewenangan kepada KPU Provinsi untuk menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Kewenangan tersebut menurutnya dijelaskan lebih jauh oleh Pasal 1 angka (1) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Pemilu. Sehingga, tambah Hadin, “Kalau suatu kewenangan adalah konstitusional, maka lembaga yang melaksanakannya adalah lembaga negara.”
Tidak normal
Sementara ahli Termohon lainnya, Hadar Gumay menganggap keputusan Presiden untuk menetapkan gubernur dan wakil gubernur Malut terpilih sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung sebagai tindakan yang tepat. Menurut Hadar, peradilan merupakan lembaga yang paling berwenang untuk menyelesaikan setiap sengketa, termasuk sengketa pemilu.
Hadar juga menilai sengketa yang melibatkan para penyelenggara pemilu dalam proses pemilukada Malut menyebabkan pemilukada berlangsung tidak dalam kondisi normal. Oleh karenanya, menurut Hadar sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh KPU sendiri, melainkan oleh pengadilan untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan. Dengan demikian, Hadar berpendapat dalam kasus ini tidak ada pengambilalihan kewenangan yang dilakukan oleh Presiden karena Presiden hanya melaksanakan putusan pengadilan (MA).
Perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang dimohonkan oleh KPU Malut ini bermula dari langkah Presiden SBY yang menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk menetapak pasangan Thaib Armayn dan Abdul Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur Malut. KPU Malut menganggap tindakan Presiden yang menerbitkan Keppres No. 85/P 2008 tersebut telah mengambil dan mengabaikan kewenangan konstitusional KPU dalam menentukan pasangan calon terpilih dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Malut.
Padahal, menurut Pemohon, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 03 P/KPUD/2008 tanggal 22 Januari 2008, KPU Malut telah melakukan perhitungan suara ulang pada 20 Februari 2008 yang menghasilkan pasangan Abdul Gafur dan Abd. Rahim Fabanyo sebagai pemenang pilkada Malut. Sementara Keppres tersebut, menurut Pemohon didasarkan pada hasil perhitungan ulang pada 11 Februari 2008 yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota KPU Malut yang telah diberhentikan sementara oleh KPU Pusat.
Akan tetapi menurut Presiden, penghitungan ulang yang sesuai prosedur menurut MA adalah penghitungan yang dilakukan oleh Ketua dan anggota KPU Malut yang oleh KPU Pusat telah dinonaktifkan. Presiden dengan berlandaskan pada putusan MA justru menilai langkah KPU Pusat menonaktifkan Ketua dan anggota KPU Malut telah batal demi hukum.
Selain mendengarkan keterangan para ahli, sidang tersebut juga mendengarkan keterangan para saksi yang diajukan kedua belah pihak. Para saksi tersebut antara lain, Ketua dan anggota KPU Malut yang dinonaktifkan KPU Pusat, anggota panitia pengawas pemilu Malut, serta pasangan calon gubernur Malut lain yang kalah dalam pemilihan. Menurut rencana, Mahkamah Konstitusi akan memberikan putusan atas perkara ini pada awal Februari 2009. [ardli]
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF