Perkara No. 46/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh Tedjo Bawono, warga Kota Surabaya, Jawa Timur, yang memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap aset yang diklaim oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai milik negara berupa kolam renang (Brantas-red).
Pemohon menganggap pemberlakuan Pasal 50 UU PN telah bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena memberikan perlindungan kepada Pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini Walikota Surabaya, untuk tidak mematuhi Putusan PN Surabaya.
Pasal 50 UU PN menyatakan sebagai berikut:
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Mengawali persidangan, Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati menjelaskan bahwa sebetulnya perkara yang diajukan oleh Pemohon telah diselesaikan oleh Mahkamah Agung (MA), tetapi eksekusinya baru sebagian, yakni obyeknya saja dan masih kurang ganti rugi sebesar Rp 2 milyar. Terkait judicial review, Maria menilai permohonan ini tidak tepat diperkarakan di MK karena pasal tersebut sudah ada sejak zaman Hindia Belanda yang bertujuan untuk mempertahankan barang-barang milik negara. Jika pasal ini dikabulkan untuk dihilangkan, justru semakin membuka peluang beralihnya barang milik negara. “Memangnya anda mau istana negara itu diambil alih oleh perorangan?” tanya Hakim Anggota Arsyad Sanusi, memastikan.
Untuk itu, tambah Maria, sebetulnya permohonan ini salah alamat karena pasal a quo tidak mengatur tentang penyitaan. Sebenarnya Pemohon sudah mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan putusan MA, sedangkan yang berlaku diskriminatif adalah Walikota Surabaya yang berlindung di balik UU a quo. “Namun jika harus menekan seseorang untuk melakukan eksekusi, tambahan itu bukan kewenangan kami (MK-red),” tegas Maria. (Andhini Sayu Fauzia)
Foto: Dok. Humas MK/Ardli N