Mahkamah Konstitusi (MK) akan gelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan uji Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai) yang diajukan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat, H.M. Zainul Majdi, MA, Rabu (17/12).
Pemohon ajukan permohonan untuk menguji Pasal 66A ayat (1) UU Cukai sepanjang frasa: “dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau” karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Kalimat lengkap Pasal 66A ayat (1) UU Cukai: Penerimaan Negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Pemohon, sebagai Gubernur dari provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia (Tahun 2008: 46.824 ton/22.824 Ha) merasa sangat dirugikan atas berlakukanya Pasal 66A karena berdasarkan kenyataan, cukai hasil tembakau hanya diberikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau, dalam hal ini provinsi yang memiliki pabrik rokok, sedangkan Provinsi NTB . “Sungguh ironis bahwa provinsi yang menghasilkan tembakau dan sebagai pemasok devisa tembakau terbesar di negara ini, tidak mendapatkan hasil cukai tersebut,” kata Andy Hadiyanto, Kuasa Hukum Pemohon.
Pemohon sebenarnya sudah pernah mengajukan permintaan untuk turut memperoleh penerimaan negara dari cukai rokok ini ke Menteri Keuangan, namun dijawab bahwa cukai rokok hanya diberikan kepada provinsi yang memiliki pabrik rokok. “Sungguh ironis bagi kami,” ulang Andi.
Dengan tidak diperolehnya bagian dari hasil cukai tembakau oleh Provinsi NTB, maka Gubernur beralasan tujuan cukai tembakau untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, dan pembinaan lingkungan sosial tidak terlaksana di NTB.
Atas alasan di atas, dalam petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 66A ayat (1) UU Cukai sepanjang mengenai frasa “dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan meminta Pemohon menjelaskan lebih rinci perihal apakah cukai hasil tembakau itu dimaknai cukai produk rokok atau bukan. Selanjutnya, tentang kedudukan hukum Pemohon (legal standing), Maruarar meminta Pemohon menjelaskan lebih gamblang apakah yang berposisi di depan untuk beracara itu seorang Gubernur sebagai person ataukah pemerintah daerah yang bersangkutan yang sifatnya permanen, “karena Gubernur kapan-kapan bisa pindah (tidak menjabat lagi red.),” jelas Maruarar.
Ketiga, soal kerugian konstitusional, Maruarar meminta Pemohon menjelaskan pula soal hal-hal apa saja yang tergolong sebagai kerugian konstitusional pemerintah daerah. Selanjutnya tentang frasa yang dimohonkan, Maruarar juga mempersilakan Pemohon untuk merenungkan kembali apakah memang frasa itu yang ingin dihilangkan, “sebab jika frasa itu dikabulkan untuk dihilangkan maka (kalimat sisanya) tidak memiliki arti apa-apa,” saran Maruarar.
Terhadap saran-saran tersebut, Andy mengatakan akan memanfaatkan kesempatan yang diberikan yaitu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Denny Feishal