[20/11/08]
Kehadiran MK dinilai belum bisa menjawab seluruh persoalan ketatanegaraan. Ada gagasan untuk memperluas kewenangan MK dengan meniru MK Jerman. Kesiapan teknis jadi kendala.
Revisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, wacana untuk memperluas kewenangan lembaga pengawal konstitusi itu masih terus mengemuka. Selain beberaka kali diskusi, âstudy comparativeâ melihat MK di berbagai negara dilakukan. Salah satu yang menjadi perbandingan adalah MK Jerman. Di negara Adolf Hitler itu kedudukan MK sangat tinggi. Putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh MA sekalipun bisa diuji.
Ketua MK Mahfud MD menyadari hal itu. Ia mengatakan dorongan agar kewenangan MK diperluas semakin menguat. Mahfud mencatat ada beberapa kewenangan yang terus didorong. Pertama, adalah kewenangan untuk mengadili constitutional complaint atau pengaduan konstitusional. Definisi bebasnya adalah pengaduan warga negara ke MK karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi.
Saat ini, hanya UU yang melanggar hak konstitusional warga negara saja yang bisa diuji. Melalui konsep constitutional complaint, semua produk pemerintah maupun DPR yang dianggap melanggar hak warga negara bisa dibawa ke MK. âDorongan agar MK punya kewenangan constitutional complaint sudah mulai muncul,â ujarnya di sela-sela peluncuran buku yang bertajuk âHukum Konstitusi Republik Federal Jerman: Beberapa Putusan Terpilihâ karya Hakim Konstitusi Jerman Siegfried Bross di MK, Senin (17/11) lalu.
Mahfud juga sempat memuji karua Bross tersebut. âBuku Bross ini menarik karena akan memberi pemahaman apa itu constitutional complaint,â katanya.
Kewenangan lain yang didorong agar segera dimiliki oleh MK adalah constitutional question. Konsep ini memberi jalan kepada hakim pengadilan negeri yang sedang menangani perkara mengirim âpertanyaanâ ke MK. Hal ini bila dalam perkara yang ditanganinya ada dasar hukum yang bertentangan dengan konstitusi. âHakim bisa bertanya apa dasar hukum ini bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Perkara bisa dihentikan sementara,â ujarnya.
Selain itu, MK juga diharapkan bukan hanya bisa melakukan judicial review, tapi juga judicial preview. Artinya, MK tak hanya menguji UU yang sudah disahkan, tapi juga rancangan undang-undang. Saat pembahasan RUU, MK bisa dimintai pendapatnya.
Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen mengatakan bila kewenangan ini ingin dimiliki MK maka harus ada amandemen UUD 1945. Pasalnya, konstitusi membatasi limitatif kewenangan MK yang sekarang. Pasal 24C menyebutkan MK berwenang menguji UU terhadap UUD 45, memutus sengketa konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan impeachment presiden.
Patra secara prinsip menyetujui perluasan kewenangan MK ini. Namun, ia mengingatkan ada beberapa hal yang perlu dipikirkan secara teknis. Salah satunya, kemampuan sembilan hakim konstitusi untuk melaksanakan kewenangan yang besar itu. âDiberi kewenangan pilkada saja, sembilan hakim saja harus bekerja keras. Apalagi dibuka katub constitutional complaint,â ujarnya. Sebagai perbandingan, di Jerman selama periode 1951-2005, tercatat 157.233 permohonan constitutional complaint. Dari jumlah itu, yang benar-benar memenuhi kualifikasi ada 151.424. Namun, hanya 3.699 permohonan atau 2,5% yang berhasil.
Patra mengingatkan constitutional complaint merupakan jalan terakhir mencari keadilan. Yakni, bila semua upaya hukum yang tersedia telah dilewati. Namun, ia menegaskan perlu ada saringan ketat sejak awal untuk membatasi perkara constitutional complaint. Saringan awal sangat perlu, agar tak terlalu banyak perkara yang masuk. âTahu sendiri kan advokat. Karena dia pikir ada upaya hukum baru, mereka bisa asal-asalan saja mengajukan itu ke MK,â ujarnya. Yang dicari bukan lagi keadilan, tetapi agar semua upaya hukum bisa dilewati semua.
Patra mencontohkan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Ia melihat banyak permohonan PK yang menggunakan novumnya (bukti baru) seakan dipaksakan. âBukti-bukti itu tak baru, tapi tetap diajukan untuk untung-untungan.â
Anggota Komisi III DPR Benny K Harman ikut angkat bicara. Ia juga mendukung rencana perluasan kewenangan MK. Namun, ia menyarankan perluasan kewenangan ini tak perlu menunggu amandemen UUD 1945. Bila ada perkara constitutional complaint yang masuk, MK wajib menerima. âHakim tak boleh menolak perkara dengan alasan tak ada hukumnya,â ujar politisi dari Partai Demokrat ini.
Menurutnya, persoalan tata negara di masyarakat harus segera dijawab. Ia mencontohkan bila ada sebuah peraturan daerah yang langsung bertentangan dengan konstitusi. Hukum Indonesia memang belum mengatur itu. Karenanya, bila ada gugatan semacam ini datang ke MK, maka para hakim konstitusi wajib menerima perkara itu.
(Ali)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20537&cl=Berita
Foto: Dok. Humas MK/Ardli N