Konflik berkepanjangan yang terjadi dalam proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih berlanjut. Keputusan Presiden untuk melantik Thaib Armaiyn dan Abdul Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Maluku Utara (Malut) ternyata tidak serta merta dapat mengakhiri sengketa pemilihan kepala daerah hasil pemekaran provinsi Maluku tersebut.
Keputusan Presiden sebagaimana dituangkan dalam Keppres No. 85/P Tahun 2008 yang menetapkan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih Malut dianggap telah mengambil dan mengabaikan kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Malut dalam melaksanakan tahapan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Tindakan Presiden tersebut kemudian digugat oleh KPU Malut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Kamis (13/11) di gedung MK, Kuasa hukum KPU Malut Bambang Widjojanto menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim MK agar MK menyatakan Presiden sebagai Termohon telah melanggar serta - atau setidak-tidaknya mengambil dan/atau mengabaikan kewenangan konstitusional KPU Malut sebagai lembaga penyelenggara pemilu dalam pilkada Malut. KPU Malut juga meminta agar MK memerintahkan Termohon agar mencabut Keppres Nomor 85/P Tahun 2008 dan mengesahkan usulan DPRD Malut tentang penetapan usulan pengangkatan Dr. H. Abdul Gafur dan H. Abd. Rahim Fabanyo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Probinsi Malut sebagaimana yang ditetapkan KPU Malut dalam SK KPU Malut Nomor 23/KEP/PGWG/2008.
Menurut Bambang Widjojanto, Presiden hanya punya kewenangan untuk mengesahkan pemenang pilkada dan tidak punya kewenangan untuk menentukan pemenang pilkada. Sesuai Pasal 22E ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945, kata Bambang, KPU adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan seluruh tahapan pemilu, termasuk penetapan pemenang. âKalau hal ini dibiarkan, akan selalu ada potensi abuse of power,â kata Bambang.
Bambang menganggap tindakan Termohon yang menerbitkan Keppres tersebut telah mengambil dan mengabaikan kewenangan konstitusional KPU dalam menentukan pasangan calon terpilih. Padahal, menurut Pemohon, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 03 P/KPUD/2008 tanggal 22 Januari 2008, Pemohon telah melakukan perhitungan suara ulang pada 20 Februari 2008 yang menghasilkan pasangan Abdul Gafur dan Abd. Rahim Fabanyo sebagai pemenang pilkada Malut. Sementara Keppres tersebut, menurut Pemohon didasarkan pada hasil perhitungan ulang pada 11 Februari 2008 yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota KPU Malut yang telah diberhentikan sementara oleh KPU Pusat.
Terkait hasil perhitungan suara ulang yang dilakukan oleh Ketua dan anggota KPU Malut yang telah dinonaktifkan, Pemohon menyatakan telah berulang kali memberitahukan kepada Termohon bahwa perhitungan ulang tersebut tidak sah. Sementara, melalui surat No. 022/KMA/III/2008 maupun dalam surat No. 099/KMA/V/2008 perihal Fatwa hukum tentang pilkada Malut, menurut Pemohon, MA hanya memberikan pedoman penyelesaian sengketa pilkada sesuai dengan Pasal 109 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.
Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Majelis Panel Hakim Konstitusi, Abdul Mukthie Fadjar, mempertanyakan keberadaan KPU Nasional dalam gugatan ini. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007, KPU memiliki struktur hirarkis yang menyebabkan seluruh kewenangan pelaksanaan pemilu, termasuk pemilukada Malut menjadi otoritas KPU Nasional. Sehingga, saran Mukthie, Pemohon perlu mempertimbangkan KPU Nasional juga menjadi pihak terkait pada Pemohon. Mukthie juga mengingatkan dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), argumentasi kedudukan Pemohon sebagai lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945 harus benar-benar kuat.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar. Menurut Maruarar, keberadaan KPU Malut sebagai Pemohon harus memiliki dasar argumentasi yang sangat kuat. Apalagi, tambahnya, kompleksitas persoalan pemilukada Malut yang pada tahap-tahap tertentu telah melibatkan KPU Nasional secara langsung dalam menentukan KPUD yang sah dan tidak sah. Untuk itu, menurut Maruarar, âKPU Pusat juga memiliki kepentingan yang besar untuk menjadi Pemohon.â
Mendengar saran-saran tersebut, Kuasa Pemohon beralasan saat ini KPU Nasional sedang menghadapi tenggat pelaksanaan pemilu nasional. âApabila KPU Nasional juga dilibatkan dalam permohonan ini, (Pemohon) khawatir proses pemilu nasional akan terganggu,â ujar Bambang. Namun demikian Bambang menegaskan akan memperhatikan saran-saran Majelis Hakim. [ardli]
Foto: Dok. Humas MK/Kencana SH