Penempatan calon perempuan secara zig-zag (satu calon perempuan di setiap tiga calon anggota) dalam daftar calon anggota legislatif merupakan bentuk perlindungan terhadap hak politik perempuan yang selama ini termarjinalisasi dan terdiskriminasi. Sebagai pembanding, data keterwakilan perempuan dalam partai politik, di Perancis ditetapkan sebesar 50 persen, Argentina sebesar 30 persen, Bangladesh 30 persen, Pakistan 33 persen.
Demikian statement Pemerintah yang disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Agung Mulyana, dalam sidang uji UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Rabu (12/11), di ruang sidang Pleno Gedung MK.
Sidang perkara No. 22&24/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh Muhammad Sholeh (calon anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan satu Surabaya-Sidoarjo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Sutjipto, S.H., M.Kn. (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat), Septi Notariana, S.H., M. Kn., (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn., (calon pemilih 2009).
Pemohon Perkara No. 22, Muhammad Sholeh, beralasan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama di depan hukum maupun dalam pemerintahan termasuk juga dalam bidang politik. Untuk itu, menurutnya, tidak perlu ada penomoran zig-zag dalam penyusunan daftar nama caleg antara laki-laki dan perempuan. âIdealnya memang perempuan pun berpolitik, tetapi tidak boleh ada keistimewaan yang akhirnya justru menimbulkan diskriminasi,â kata Sholeh.
Menambah keterangan Pemerintah, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Arte, menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan KPU No. 18 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU telah memberi penekanan lebih tajam manakala partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen, maka berapapun jumlah minimal yang diserahkan, calon anggota legislatif perempuan itu wajib diletakkan di nomor urut kecil.
Mendukung pernyataan Pemerintah dan KPU, Komisioner Komnas Perempuan, Samsi Ahmad, mengatakan bahwa kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini tidak bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945. âKepada Pemohon, bila diperlukan, kami bisa memberikan referensi-referensi untuk memperkuat keyakinan bahwa itu bukan diskriminasi,â tegas Samsi.
Nomor Urut vs Suara Terbanyak
Tak hanya persoalan keterwakilan perempuan, para Pemohon juga mempersoalkan ketentuan calon jadi anggota legislatif yang didasarkan pada nomor urut bukannya suara terbanyak.
Sholeh membandingkannya dengan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah yang mendasarkan pada suara terbanyak. âKini tinggal pemilu legislatif ini saja yang kewenangan partai politik tidak mau dilepaskan, sehingga dalam bahasa kami, partai itu peranannya sebagai makelar politik,â papar Sholeh.
Terhadap persoalan ini, KPU menyatakan bahwa pihaknya siap menindaklanjuti mekanisme penentuan calon anggota legislatif baik yang melalui ketentuan nomor urut berdasarkan UU a quo maupun suara terbanyak yang disepakati oleh internal partai. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF