Gerakan anti korupsi sedang giat-giatnya dilakukan. Berbagai cara ditempuh oleh elemen masyarakat dan instansi pemerintah untuk mengikis masalah yang semakin mengakar ini. Penangkapan para pejabat yang terindikasi korupsi seperti sering disaksikan di media cetak maupun elektronik, diharapkan mampu memberi efek jera bagi semua orang untuk tidak melakukan korupsi. Selain menggunakan cara represif seperti itu, ada pula sekelompok orang atau LSM berinisiatif menempuh cara lebih positif dengan memberikan penghargaan kepada orangâorang yang dianggap telah melakukan satu langkah maju dalam pengentasan korupsi.
Salah satu penghargaan untuk persona antikorupsi tersebut adalah Bung Hatta Anti Corruption Award. Penghargaan ini diberikan oleh LSM âPerkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Awardâ kepada pribadi yang bersih dari praktek korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, tidak pernah melakukan suap atau menerima suap. Kriteria lain yang harus dipenuhi pemenang penghargaan ini adalah berperan aktif, memberikan inspirasi dalam pemberantasan korupsi. Penghargaan yang diberikan dua tahun sekali ini, untuk Tahun 2008 dianugerahkan kepada DR. Sri Mulyani, Amien Sunariyadi, dan M. Busyro Muqoddas.
Dalam kapasitas sebagai pembicara kunci, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. DR. Moh. Mahfud MD menyambut baik inisiatif pemberian anugerah seperti ini. Meskipun ada kenaikan dalam peringkat negara terkorup di dunia, masalah korupsi masih menjadi problem yang sulit diantisipasi. âBahkan kita ini sampai kehabisan rasa kaget, pemberitaan (mengenai korupsi) setiap hari ada saja dan besar-besar (ditulis),â jelas Mahfud, Selasa (11/11), di Jakarta.
Menurut Guru Besar Politik Hukum ini, ada beberapa penyebab mengapa korupsi masih saja mengakar di Indonesia. Pertama, gerakan reformasi hanya memotong hingga kekuasaan politik saja dan tidak pernah membersihkan birokrasi. Mekanisme kerja birokrasi masih sama saja dengan masa sebelum reformasi. Hal ini menyebabkan bila ada upaya memberantas korupsi maka akan ada resistensi dan blokade dari birokrasi itu sendiri. âPadahal setiap kontestan politik dalam kampanyenya selalu mengatakan akan membenahi birokrasi, akan tetapi hingga kini belum membuahkan hasil,â ujarnya.
Mahfud mengakui bahwa Komisi Yudisial (KY) tidak bersih dari korupsi. Salah satu anggotanya bahkan telah ditahan karena terbukti melakukan tindak korupsi. Akan tetapi Mahfud menilai pemilihan Ketua KY sebagai penerima penghargaan sudah pantas. âKetika mengetahui (anggotanya) ditangkap, dia langsung memfasilitasi untuk menangkap orang tersebut. Tidak resisten. Ketika tahu anak buahnya salah, dia bantu,â tandasnya. Mahfud juga mengatakan komitmen yang sama jika ada pegawai MK melakukan tindakan korupsi.
Selain itu, Mahfud tidak percaya dengan stigma bahwa korupsi itu sebuah budaya yang diwariskan turun temurun atau lintas generasi dan perlu ratusan tahun untuk diubah. Menurutnya, jika hanya menerima korupsi sebagai sebuah budaya maka tidak akan ada upaya untuk memberantasnya. Bahkan, jika menilik perjalan sejarah bangsa Indonesia, tidak seluruhnya dilumuri dengan korupsi. âPernah pada penggalan waktu tertentu, ketika kita benar-benar bersih,â terang Mahfud.
Profesor dari UII ini mengatakan bahwa, menurut kajian yang dilakukannya, titik awal keberadaan korupsi di Indonesia berada di tahun 1974. Pada tahun 1973 atau sebelumnya, pemerintahan Indonesia dapat dikategorikan bersih dari Korupsi. Setelah peristiwa Malari, Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan eksekutif mulai mencampuri dunia peradilan dengan menerapkan hierarki sistem militeristik. Ketika itu pula, korupsi mulai menjalari dunia peradilan. âHakim ingin menjadi Hakim Tinggi bayar ke atasnya. Hakim Tinggi ingin menjadi hakim agung, harus bayar ke atasnya,â papar Mahfud.
Mahfud juga menyinggung masalah etika. Banyak pejabat saat ini yang tidak lagi memiliki etika dan rasa malu. âMeskipun dalam rasa keadilan masyarakat dan common sense, apa yang dilakukan si x, menteri ini sudah terbukti korupsi, hanya karena tidak dapat dibuktikan secara formal karena ia tahu bagaimana mensiasatinya maka ia merasa tidak salah,â kecamnya.
Mengutip apa yang dikatakan mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh, mengenai penyebab korupsi, Mahfud mengatakan akar persoalannya ialah feodalisme. Paham feodalisme membuat orang merasa ingin dilayani. âYang bawah ingin menjilat atasannya agar dianggap sebagai pelayan yang baik, yang atas merasa sok gagah ingin dilayani tanpa mau tahu,â jelasnya. (Yogi Djatnika)
Foto: Dok. Humas MK/Yogi Dj