Banyak hal yang ditanyakan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Ada pula dorongan dari masyarakat untuk memperluas kewenangan MK. Hal ini dikemukakan oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD ketika membuka Temu Wicara Hukum Acara MK dengan Jajaran Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Walikota, dan Bupati se-DIY, para Rektor dan Dekan Fakultas Hukum, Ketua Pengadilan, serta Tokoh Masyarakat se-DIY, Selasa (4/11), di Yogyakarta. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X turut hadir dalam acara ini.
Ada tiga macam dorongan masyarakat ke MK. Pertama, mendorong supaya MK diberi kewenangan memeriksa keluhan konstitusional (constitutional complaint) yaitu memeriksa persoalan ketika hak warga negara itu dilanggar namun upaya hukumnya sudah habis. Misalnya, seseorang sudah divonis melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) namun putusan itu ternyata salah dalam penerapan hukumnya, maka, jika seseorang itu memiliki bukti-bukti baru, perkaranya bisa diperiksa kembali melalui mekanisme constitutional complaint. Contoh lain, ada peraturan yang tidak melanggar undang-undang tapi melanggar hak-hak konstitusional warga negara yang diatur dalam konstitusi, maka hal ini juga bisa dibawa ke perkara constitutional complaint.
Kedua, pertanyaan konstitusional (constitutional question). Contohnya, seringkali orang dibawa ke pengadilan dengan aturan hukum yang, oleh si bersangkutan, dianggap bertentangan dengan konstitusi. Contohnya, Amrozi cs. menguji undang-undang yang mengatur tentang tata cara hukuman mati yang dianggap inkonstitusional. âDi dalam constitutional question, sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara, hakim yang bersangkutan bertanya dulu ke MK,â jelas Mahfud.
Ketiga, dorongan meminta MK supaya menafsirkan konstitusi secara fleksibel yaitu membuat tafsir di luar original intent (penafsiran otentik berdasarkan latar belakang lahirnya pasal-pasal dalam konstitusi). MK didorong untuk memberi nuansa baru di dalam konstitusi Indonesia. âItu tentu semua menggoda bagi kami, hakim konstitusi. Bisakah kami melakukan itu semua?â ujar Mahfud.
Pada kesempatan yang sama, Sri Sultan mengungkapkan kekhawatiran akan semakin banyaknya perkara pengujian pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara yang masuk ke MK akibat demokratisasi yang dibangun oleh pengaruh tirani modal. âSaya khawatir banyak kepentingan pemodal yang membangun persepsi lewat undang-undang yang mungkin bisa merugikan masyarakat,â ungkap Sultan.
Kedua, dengan adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilakukan mandiri oleh tiap-tiap daerah, Sultan mengatakan bahwa kini tak mudah lagi bagi Presiden untuk menginstruksikan para kepala daerah mematuhi keputusan politik yang telah diambilnya. âDengan sistem Pilkada langsung seperti sekarang sebetulnya demokrasi tumbuh. Namun dalam sistem manajemen pemerintahan, ini sebetulnya lebih gampang atau lebih susah?â tanya Sultan.
Menjawab kekhawatiran sultan, Wakil Ketua MK, Abdul Mukthie Fadjar menjelaskan bahwa MK telah memutus tiga undang-undang yang terkait kepentingan pemodal yaitu UU tentang ketenagalistrikan, UU tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU tentang Penanaman Modal. Menyambung Mukthie Fadjar, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan melihat persoalan tirani modal terkait dengan perubahan paradigma antara memilih ekonomi pasar bebas atau ekonomi kesejahteraan. Maruarar menilai saat ini telah terjadi pergeseran di mana pejabat-pejabat Indonesia terlalu kagum kepada globalisasi yang terikat pada faktor-faktor liberal sehingga seolah-olah tak ada lagi alternatif pembangunan ekonomi. âSebenarnya secara keseluruhan, (pembangunan ekonomi) ini merupakan persoalan ideologis,â ujar Maruarar.
Memungkasi Temu Wicara, Mahfud MD menjelaskan bahwa, secara substantif, supaya peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, maka ada empat kaidah yang harus diperhatikan. Pertama, hukum di Indonesia tak boleh memuat hal-hal yang mengancam integrasi (persatuan dan kesatuan). Kedua, hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan demokrasi (berdasarkan suara mayoritas) dan nomokrasi (kebenaran berdasarkan hukum). Ketiga, harus menjamin pembangunan keadilan sosial. Keempat, mengutip Proklamator Soekarno, harus berdasarkan toleransi beragama yang berkeadaban. âJika suatu undang-undang substansinya bertentangan dengan salah satu nilai di atas, pasti bertentangan dengan konstitusi. Akan kita (MK) âpotongâ,â tegas Mahfud.
Sementara itu, terkait dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung serta Pilkada langsung, hal ini berhubungan dengan sila Keempat Pancasila mengenai permusyawaratan perwakilan yang mewujud dalam lembaga-lembaga perwakilan seperti MPR, DPR, DPD hingga DPRD. âDipilihnya mekanisme Pilpres dan Pilkada langsung merupakan keputusan lembaga perwakilan dan hal ini tidak bertentangan (dengan Pancasila),â ucap Guru Besar Politik Hukum ini. (Wiwik Budi Wasito)