Terhitung mulai akhir November nanti, Jimly Asshiddiqie tak lagi menjadi hakim konstitusi. Guru Besar Hukum Tata Negara itu jauh-jauh hari sudah mengumumkan pengunduran dirinya. Tetapi bukan berarti ia turun sepenuhnya dari panggung konstitusi
Hingga sekarang masih banyak orang ingin mencari jawab atas teka teki kemana Prof. Jimly akan "berlabuh" setelah nanti resmi mundur dari hakim konstitusi per akhir November 2008. Mau ikut gawean politik pada 2009 kah? Mau sepenuhnya berkutat di dunia akademis? Mau pensiun dari panggung kenegaraan dan lebih memilih berada di tengah-tengah keluarga?
Apapun jawaban atas pertanyaan itu, kepemimpiman Jimly selama dua periode di Mahkamah Konstitusi mendapat acungan jempol dari banyak kalangan. Ia dianggap berhasil membangun capacity building sebuah lembaga baru; sebuah pelaku kekuasaan kehakiman modern yang transparan; peradilan konstitusi yang menjadi tumpuan pencari keadilan.
Tentu saja, keberhasilan Mahkamah Konstitusi tampil sebagai lembaga yang dipercaya bukan hasil kerja keras Jimly seorang. Ada delapan hakim konstitusi lain, seorang sekjen, seorang panitera, dan ratusan karyawan yang masing-masing berperan sesuai porsinya. Toh, Jimly tetap punya gagasan besar yang harus dikerjakan bersama seluruh komponen bangsa: yaitu menuju negara hukum yang demokratis. Jargon itu pula yang menjadi judul buku terakhir Jimly sebelum mundur yang diterbitkan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. âSetiap bangsa memiliki cita-cita atau tujuan sendiri yang hendak dicapai dalam kehidupan bersama,â tulis Jimly dalam pengantar buku setebal lebih dari 800 halaman itu.
Hukumonline berkesempatan menggali pandangan, harapan dan rencana Jimly ke depan, termasuk cita-cita yang belum berhasil diwujudkan di Mahkamah Konstitusi. Wawancara dilakukan 14 Oktober lalu, beberapa saat sebelum Jimly berangkat ke Komplek Pejabat Lembaga Negara di Widya Candra untuk menyerahkan kunci rumah yang ditempatinya kepada Ketua MK yang baru, Prof. Moh Mahfud MD.
Adakah cita-cita Anda yang belum kesampaian selama di MK?
Tinggal satu, yaitu membuat perpustakaan hukum terbesar. Tapi bagian perpustakaan MK sudah paham itu, mereka lagi bikin program. Cuma ini kan berkembang terus. Saya sekarang berpikir, seharusnya tidak usah banyak buku, yg penting langsung terakses ke internet. Begitu orang masuk website MK, perpustakaan ke buka semua. Ini lagi dikerjakan. Tapi ini kan tak perlu saya jadi hakim. Dari luar bisa kita kerjakan. Pegawai bagian perpustakaan sudah committed akan melaksanakan itu. Sehingga sudah Jadi idealisme mereka.
Apakah ada kekhawatiran cita-cita ini tak diteruskan oleh pimpinan MK yg baru?
Nggak. Tak perlu lagi mereka (pimpinan mereka yang baru,red) agresif. Karyawan sudah mengambil alih idealisme itu. Saya kira tak lama akan jadi.
Sudah tertanam di benak karyawan?
Iya. Pokoknya hakim periode kedua ini gampang. Tinggal meneruskan saja. Jadi mereka fokus saja menangani substansi perkara sehingga putusan betul-betul bermutu. Sudah cukup. Terkait kelembagaan sudah beres. Sistem aturan sudah selesai. Paling-paling hanya melanjutkan pengalihan sengketa pemilukada (Jimly kasih istilah pemilukada, karena pilkada menjadi bagian dari pemilu --red) dan pembentukan Peraturan MK terkait sengketa pemilihan presiden.
Jadi, sudah benar-benar lega meninggalkan MK?
Iya. Sudah plong. Orang-orangnya juga sudah pas.
Apa yang perlu dipertahankan dari pencapaian MK di bawah kepemimpinan Anda?
Masing-masing periode punya tantangan sendiri-sendiri. Mereka tahu apa yang mesti dikerjakan.
Menurut Anda, apa tantangan MK ke depan?
Ya persiapan pemilu, penanganan perkara pemilukada, dan masyarakat luas harus lebih mengenal MK, sehingga mungkin saja jumlah perkara bisa lebih banyak. Tapi jumlah perkara ini tergantung dari hasilnya (putusan-putusan MK). kalau orang merasa ke MK tak dapat memenuhi hasrat akan keadilan konstitusional, ya orang tak akan datang-datang lagi ke MK. Bisa juga kan. Capek orang ke sini, nggak dapat hasil. Ya sudah.
Jadi putusan juga harus ditingkatkan untuk memenuhi rasa keadilan?
Kira-kira begitu. Cuma tergantung kasusnya nanti. Bisa lebih banyak, bisa lebih sedikit. Mestinya lebih banyak. Kalau saya nilai dengan jumlah hakim konstitusi 9 orang ini, kalau perkaranya sedikit, lebih banyak menganggur. Kalau menganggur, tak sebanding dengan kedudukan yang sepenting ini. Jadi makin banyak perkara, sebetulnya semakin baik. makin baik berarti ada keppercayaan mengenai mekanisme penyelesaian masalah-masalah konstitusional di MK, Semestinya ke depan, perkaranya lebih banyak. Sebab kalau sistem sudah, gedung sudah, segala macamnya juga sudah beres, tapi jumlah perkara masih tetap seperti sekarang. Nganggur kita.
Kalau jumlah perkara tak meningkat berarti ada kemunduran?
Bukan kemunduran. Artinya, wajar kalau jumlahnya meningkat di masa depan. Apalagi tugasnya ditambah dengan sengketa hasil pemilukada. Karena menjadi bagian dari tugas MK, maka jumlah perkara akan tambah banyak juga. orang tak perlu khawatir MK akan kebanjiran perkara. Karena dengan kondisi sekarang, lebih banyak nganggurnya. Cuma karena PR (public relation) kita bagus, kelihatan kita sibuk. Padahal di dalam tak begitu sibuk. Karena itu, pas lah saya meyakini ini akan lancar semuanya. Saya nanti bisa kerjakan yang lain yang membuat saya akan lebih sibuk lagi.
Mengerjakan apa?
Ya mengajar. Membantu MK untuk sosialisasi meski saya tak lagi menjadi hakim. Saya tetap dianggap sebagai bagian dari MK
Anda pernah mengatakan akan mengabdi ke "tempat lain". Tepatnya kemana?
Tempat lain itu maksudnya tidak di MK lagi. Tapi tetap bersama MK.
Konkretnya tempat lain itu dimana?
Mengajar, bisa di dalam dan luar negeri. Di dalam kota atau luar kota. Bisa juga mengajar secara online.
Bagaimana dengan tantangan beberapa LSM kepada Anda untuk mereformasi MA?
Saya akan bantu juga. Tapi sebagai orang luar, kita kan tak boleh ikut campur terlalu dalam. Kalau memberi bantuan pemikiran, saya siap.
Kalau masuk menjadi hakim agung mendaftar ke KY, lalu secara bertahap menjadi Ketua MA?
Ooo begitu. Nanti kita lihat-lihat dulu lah keadaannya. Kalau mau memperbaiki sistem peradilan secara keseluruhan caranya seperti apa? Apa harus masuk atau tidak? Kan bisa saja dari luar, kalau lebih efektif. Kalau problemnya kebijakan tentu MA tak bisa apa-apa. Dia kan hanya melaksanakan. Kebijakan kan ada di eksekutif dan legislatif.
Jadi kata kunci untuk reformasi birokrasi peradilan tak semata-mata dari orang dalam, tapi juga dari pemerintah dan DPR. Membuat kebijakan yg dituangkan ke dalam UU. Isunya bukan cuma usia hakim agung. Itu kan hanya satu di antara sekian masalah. Reformasi harus komprehensif. Malah kalau reformasi dilakukan tidak komprehensif, bisa merusak. Misalnya, soal renumerasi, itu belum tentu baik. Secara umum bagus, tapi tiba-tiba tak ditopang oleh subsistem lain bisa saja jadi merusak. Kalau mau memperbaiki keadaan jangan satu persatu begitu. Lihat keseluruhan.
Menurut Anda reformasi MA itu seharusnya mulai dari mana?
Dari Presiden dan DPR. Mereka yang merumuskan kebijakan komprehensif tentang reformasi peradilan. Sistemnya. Ketua MA hanya pelaksana. Dia kan hanya melaksanakan UU. Yg bikin UU siapa.
Kalau di MK, peran Ketua MK kan sangat besar?
Itu periode pertama. Periode selanjutnya tidak. Dia hanya memimpin sidang. Hanya ketok-ketok palu saja. Periode pertama karena kita membangun. Ke depan, bisa saja Ketua MA atau Ketua MK bergantian setahun sekali. Bisa saja digilir. Kenapa tidak? Sebab kelembagaannya sudah selesai. Coba bayangkan Ketua MA bergantian setahun sekali. Kan bagus. Tapi tak bisa begitu saja. Jangan tiba-tiba. Harus diletakkan secara komprehensif dulu apa saja yg perlu dibenahi. Kalau tiba-tiba seperti itu, malah jadi kacau. Karena sistem birokrasinya belum selesai.
Makanya, harus menyeluruh. Tak usah jauh-jauh. Misalnya, apakah benar semua perkara harus diselesaikan oleh MA? Apa benar untuk mewujudkan cita-cita keadilan, gugatan tanah semeter di kampung harus sampai ke MA? Apa iya? Penyelesaian hal seperti ini bukan ditangan Ketua MA, siapa kek jadi Ketua tetap saja 20 ribu nunggak perkara. Akibatnya, jumlah hakim agung harus banyak. Sehingga jumlah majelis juga banyak. Risikonya, perkara mirip, putusannya bebas. Di sana lima tahun. Disini 10 tahun. Putusan berbeda keluar dari satu mahkamah, karena majelisnya berbeda. Itu bisa terjadi. Padahal jenis perkaranya sama. Berarti mutu putusan jadi masalah. Ketua MA tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya membagi-bagi perkara.
Jadi Capres ke depan harus yang mengerti reformasi peradilan?
Peranan Presiden jadi penting. Begitu juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi tergantung kita mau apa agendanya. Kalau reformasi peradilan jangan satu persatu. Menghabiskan waktu dan menimbulkan masalah-masalah baru. Bukannya solusi, tapi timbul masalah baru. Tambah berat.
Itu sebabnya reformasi di MA tak pernah selesai. Karena dilakukan satu persatu, tidak secara komprehensif. Masalahnya seribu, penyelesaianya sepotong-potong. Itu sekali lagi tidak terletak pada tanggung jawab perorangan, apalagi hanya tanggung jawab Ketua MA. Dia pelaksana sekaligus korban dari sistem yang tak efektif secara menyeluruh. Sangat kompleks, seperti kompleksnya permasalahan negara kita.
Dalam reformasi birokrasi lembaga negara acapkali mendapat bantuan dari asing. Bagaimana pendapat Anda?
Saya tak setuju. Semua lembaga negara harus bekerja berdasarkan APBN. Di luar itu, rawan menyalahi aturan administrasi keuangan. Nanti ujung-ujungnya, bisa jadi korupsi. Maka itu, saya anjurkan semua lembaga-lembaga negara jangan bekerja dengan menggunakan dana di luar APBN yang resmi. Itu intinya. Kalau ada kerja sama dengan lembaga luar negeri harus satu pintu. Yaitu lewat pemerintah. Pintunya Bappenas. Jadi nanti masuk lewat APBN juga. Jangan menggunakan pintu masing-masing lembaga negara itu sendiri. Itu rawan disalahgunakan dan disalahpahami.
Ada intervensi politik dari luar. Meski sebenarnya tak ada intervensi karena niatnya baik. Tapi itu menimbulkan ketidakpercayaan publik. Saya tak setuju dengan kebiasaan lembaga negara kita yang menerima bantuan asing itu. Bukan saya tak setuju dibantu orang. Tapi harus berdasarkan MoU antar negara. Harus ada agreement G to G. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (30/10/08)
Foto Dokumentasi Humas MK