[29/10/08]
Babak baru sengketa pilkada Maluku Utara. KPU setempat menilai Presiden SBY telah mengambil alih kewenangannya. Kuasa Hukum KPU Maluku Utara mendaftarkan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara ke MK.
Thaib Armaiyn dan Abdul Ghani Kasuba telah dilantik secara resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara (Malut). Pelantikan dilangsungkan meski pendukung pasangan Abdul Ghafur dan Abdurrahim Fabanyo, seteru Thaib-Kasuba di pilkada, menggelar aksi demonstrasi. Pelantikan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada 29 September lalu.
Meski sudah dilakukan pelantikan, sengketa pilkada Malut rupanya belum menunjukan tanda-tanda berhenti. Letupan dan konflik antar pendukung kedua pasangan masih terus terjadi. Dari segi hukum, sengketa pilkada Maluku Utara itu juga belum final. Malah bisa dibilang memasuki babak baru lagi. Gelanggang tempat sengketa itu adalah ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara (KPU Malut) baru saja mendaftarkan perkara sengketa kewenangan lembaga negara ke MK. Bambang Widjojanto, kuasa hukum KPU Malut, menjelaskan permohonan ini untuk âmenggugatâ tindakan Presiden yang dinilai telah melampaui kewenangan. âIni sengketa kewenangan antar lembaga negara,â ujarnya di Gedung MK, Selasa (28/10). Mengaku mendapat mandat dari KPU Pusat, KPU Malut bertindak sebagai pemohon dan Presiden sebagai termohon.
Bambang mempersoalkan tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 85/P Tahun 2008 mengenai penetapan calon terpilih Gubernur dan Wagub Malut. Keppres yang âmemenangkanâ pasangan Thaib-Kasuba itu dianggap mengambil alih kewenangan KPU Malut selaku penyelenggara pemilihan umum. Pasalnya, Keppres tersebut tak berdasarkan penghitungan suara oleh KPU Malut yang sah.
Bambang menjelaskan Keppres tersebut keluar berdasarkan penghitungan yang dikeluarkan Ketua KPU Malut saat itu, Rahmi Husen dan salah seorang anggota KPU Malut. Hasil penghitungan memang menyatakan Thaib-Kasuba sebagai pemenang. Namun, penghitungan ini dianggap cacat hukum, karena keduanya telah dipecat oleh KPU Pusat. âKami anggap tindakan Presiden itu sebagai satu tindakan yang mengingkari prinsip atau sifat kemandirian dari KPU,â tutur Bambang. Ia mengutip Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan KPU mempunyai kewenangan menyelenggarakan pemilu yang salah satu sifatnya, mandiri.
Seharusnya, lanjut Bambang, Presiden SBY mengacuhkan saja penghitungan suara oleh dua petinggi KPU Malut yang telah diberhentikan itu. âSemestinya (dasarnya,-red) dari KPU Provinsi yang sah,â tuturnya. Bambang mengingatkan Pasal 109 UU Pemda yang berbunyi pelantikan berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU Provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Jadi, kata Bambang, bila Presiden mengacu bukan pada lembaga yang sah, tindakan itu merupakan pengambilalihan kewenangan KPU Provinsi. âJadi logikanya sederhana saja,â tambahnya.
Menurut Bambang, bila kasus semacam ini dibiarkan maka ke depan akan menjadi preseden buruk. âIni akan berimplikasi pada Pemilu 2009,â tuturnya. Ia khawatir pada pemilu 2009 nanti akan terjadi lagi pengambilalihan kewenangan KPU oleh Presiden. âIni bukan masalah sengketa lagi. Tapi kedaulatan rakyat,â tambahnya.
SKLN Kedua
Bambang mungkin perlu mengingat kembali sejarah pilkada Malut ini di MK. Berdasarkan catatan hukumonline, KPU Malut pernah mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Kala itu, KPU Malut bersengketa dengan KPU Pusat. Para pemohonnya adalah Ketua KPU Malut Rahmi Husen dan dua anggotanya Nurbaya H Soleman serta Zainuddin Husain.
Namun, permohonan ini tak berakhir sampai putusan. Rahmi buru-buru mencabut perkara ini. Ia beralasan ingin lebih berkonsentrasi menghadapi sengketa pilkada di MA.
Jimly Asshiddiqie yang kala itu bertindak sebagai Ketua Majelis sempat mempertanyakan penarikan perkara ini. âApakah murni alasan hukum atau karena pemohon dalam keadaan terpaksa?â tanyanya. Bila ada tekanan, lanjutnya, maka MK akan menolak pencabutan permohonan ini. Akhirnya, MK memang mengabulkan pencabutan, karena Rahmi meyakinkan tak ada pemaksaan atau tekanan untuk mencabut permohonan.
Namun, Jimly tak lupa memberikan petuah di akhir sidang pencabutan permohonan itu. Konsekuensi dari penarikan permohonan ini adalah pemohon tak bisa mengajukan permohonan yang sama. âMenyatakan para pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan sengketa kewenangan lembaga negara antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara terhadap Komisi Pemilihan Umum,â demikian salah satu bunyi ketetapan MK terkait pencabutan perkara tersebut.
Dalam ilmu hukum, kondisi di atas dikenal sebagai asas nebis in idem. Persoalannya, apakah permohonan KPU Malut kali ini bisa terhambat dengan ketentuan tersebut? Meski kali ini ada sedikit perbedaan. Yaitu, termohonnya berbeda. Tinggal bagaimana para hakim konstitusi memutuskannya.
(Ali)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20386&cl=Berita
Foto: Dok. Humas MK