Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 18/PUU-VI/2008, Kamis, (23/10/2008) di Ruang Sidang MK. Perkara tersebut diajukan M. Komarudin dan Muhammad Hafidz dari Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, serta 138 mantan buruh PT. Sindoll Pratama.
Komarudin dkk. beranggapan ketentuan dalam UU Kepailitan tersebut tidak menjamin kepastian hukum yang adil bagi buruh serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena hanya memberi peluang serta hak-hak istimewa kepada kreditor pemegang gadai, jaminan, fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan hak agunan atas kebendaan lainnya (kreditor separatis). Menurut mereka, kondisi tersebut akan menghapuskan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak buruh baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan.
Pasal 29 UU Kepailitan: âSuatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap Debitor.â
Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan berbunyi, âDengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.â
Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan berbunyi, âDengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).â
Pasal 138 ayat (1) UU Kepailitan berbunyi, âKreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.â
Lebih lanjut, menurut para Pemohon, seharusnya hak-hak buruh atau pekerja didahulukan berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang berbunyi, âDalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.â Penjelasan pasal tersebut menyatakan, âYang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.â
Dengan kata lain, permasalahan pokok yang diajukan adalah perbedaan kedudukan hukum dan ekonomi yang terkait dengan pembayaran dalam kepailitan antara kreditor separatis dan buruh. Bagi kreditor separatis, pembayaran dalam kepailitan dijamin pelunasannya dengan hipotek, agunan, fidusia, gadai, dan hak tanggungan. Bagi buruh, selaku kreditor preferen khusus, kedudukannya berada di bawah kreditor separatis, sehingga jikalau seluruh harta debitor telah dijadikan agunan dan dikuasai oleh para kreditor separatis, hal tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh apapun.
Hal tersebut menurut para Pemohon, bertentangan dengan perlindungan atas hak-hak buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945, yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama karena buruh sebagai pekerja berhak untuk mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dari pekerjaan yang telah dilakukannya yang mendukung haknya untuk hidup.
Menanggapi dalil tersebut, MK menyatakan bahwa penentuan peringkat penyelesaian atau pelunasan tagihan kredit dalam proses kepailitan yang bersumber dan diatur dalam berbagai produk perundang-undangan baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah sepanjang mengenai kedudukan buruh atau pekerja telah diperbaiki sedemikian rupa dalam UU Kepailitan dan PKPU sehingga upah buruh yang sebelumnya hanya termasuk urutan kreditor preferen keempat (Pasal 1149 angka 4 KUH Perdata) yang berada dalam posisi di bawah kreditor separatis menjadi utang harta pailit di bawah biaya kepailitan dan fee kurator berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.
Dalam konteks demikian, menurut MK, maka Pasal 95 UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa upah buruh dalam proses kepailitan didahulukan harus dibaca bahwa upah buruh tersebut didahulukan akan tetapi di bawah kreditor separatis yang dijamin dengan gadai, hipotek, fidusia, hak tanggungan (secured-loan), biaya kepailitan, dan fee kurator. âDengan demikian, tidaklah terdapat pertentangan norma antara UU Kepailitan dan PKPU dan UU Ketenagakerjaan,â ucap Hakim Konstitusi Akil Mochtar membacakan pertimbangan putusan.
Bagi MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU pada dasarnya menentukan bahwa kreditor separatis dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Artinya, hak gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan lainnya tidak termasuk boedel (warisan) pailit yang akan dieksekusi. Kreditor separatis berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi atas barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditor separatis berhak atas boedel pailit sebagai kreditor konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat kelebihan dari piutangnya maka kelebihan tersebut harus dimasukkan sebagai boedel pailit.
âPelaksanaan hak-hak kreditor separatis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perlakuan yang tidak adil dan tidak layak dalam hubungan kerja (hubungan antara buruh dan pengusaha), karena dalam hubungan kerja dimaksud, buruh tidak kehilangan hak-haknya dalam kepailitan dan buruh juga tidak kehilangan hak-hak atau upahnya, â jelas Akil Mochtar.
Dengan demikian, menurut MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Akan tetapi, faktor lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh atau pekerja dalam hal terjadinya kepailitan dapat mengakibatkan buruh atau pekerja tidak memperoleh apa-apa karena aset debitor telah dijadikan jaminan bagi kreditor separatis, karena itu harus campur tangan negara.
MK kemudian berpendapat bahwa yang harus dilakukan bukan dengan cara menyatakan pasal-pasal dalam UU Kepailitan yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian memberikan kedudukan buruh sebagai kreditor yang setara dengan kreditor separatis dan/atau menghilangkan status kreditor separatis yang tentunya akan merugikan pihak kreditor separatis yang dijamin hak pelunasan piutangnya berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU melainkan dengan menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitor dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret. âSehingga ada jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja terpenuhi pada saat debitor dinyatakan pailit,â pungkas Akil Mochtar.
Sehubungan dengan itu, Ketua MK, Moh Mahfud MD yang membaca Konklusi Putusan menyatakan, dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan pembentuk undang-undang memang perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh. âDiperlukan adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan,â tegasnya. (Luthfi Widagdo Eddyono)
foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW