[20/10/08]
Sebelum disahkan, DPR seharusnya membahas kata demi kata dalam draf undang-undang yang dibuat oleh pemerintah.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) masih digodok di DPR. Ada beberapa pasal yang belum disepakati. Padahal, Kamis malam (16/10), Panitia Khusus (Pansus) RUU Pilpres telah melakukan lobi. Lobi tetap belum bisa menuntaskan batu sandungan dalam RUU. Masih ada dua pasal yang belum diselesaikan oleh pansus.
Pertama, prosentase suara dukungan partai politik (parpol) atau gabungan parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). Kedua, terkait dengan ketentuan dalam persyaratan capres dan cawapres, yaitu kesediaan mundur bagi pimpinan parpol apabila terpilih.
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mempertanyakan sikap DPR yang belum membahas secara substansial RUU ini. Seharusnya, kata dia, DPR membahas kata demi kata lebih dulu, setelah itu membahas yang sifatnya substansial. âYang terjadi malah sebaliknya, undang-undang yang dibuat pemerintah sudah jadi, baru diacak-acak oleh DPR,â ujarnya kepada wartawan usai menghadiri sebuah diskusi di Jakarta, Jumâat (17/10).
Rafly menambahkan, dalam pembuatan undang-undang seharusnya sudah disepakati perubahannya dari awal. Kesepakatan itu meliputi nilai-nilai dasar, standing dasar. Begitu juga dengan kata perkata yang disepakati harus mencakup sifat yang mendasar.
Menurutnya, pembahasan yang tidak substansial ini bisa dilihat dalam RUU Pilpres. Refly berpandangan, bahwa prosentase mengenai kesepakatan itu telah melanggar konstitusi. Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, yang punya hak dalam memilih capres dan cawapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.
âSepanjang anda peserta pemilu, maka anda mempunyai constitutional right untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Ini berarti yang mempunyai hak atau kesempatan untuk mengusulkan calonnya adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu,â ungkapnya.
Refly juga menilai bahwa telah terjadi pembatasan dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yakni dengan adanya pengajuan 15 persen kursi dan 20 persen suara, serta perdebatan di DPR. Dirinya beranggapan, jika prosentase ini tetap dipertahankan, kemungkinan akan ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh parpol yang merasa dirugikan. Sebab, parpol-parpol tersebut merasa dibatasi ruang geraknya untuk mencalonkan pilihannya dalam pilpres nanti.
Penyumbang wajib cantumkan NPWP
Ketua Pansus RUU Pilpres Ferry Mursyidan Baldan mengatakan perjalanan RUU Pilpres sampai saat ini belum menemukan muaranya. Menurutnya, Senin (20/10) ini, DPR akan mendengarkan laporan Panitia Kerja (Panja) dan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan tingkat I. Sementara hari Rabu (22/10), DPR akan membawa perkembangan RUU ini dalam rapat paripurna.
Mengenai prosentase suara dan kursi, Ferry mengatakan bahwa setiap fraksi masih bertahan pada argumentasinya masing-masing.
Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres Andi Yuliani Paris menjelaskan ada tiga materi yang akan dilaporkan panja dalam rapat kerja nanti. Pertama, kewajiban mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi penyumbang dana kampanye. Untuk poin ini panja menyepakati dihapus dan selanjutnya dilaporkan kembali ke pansus. âKita berharap bahwa dengan satu pintu, atau dengan rekening khusus tunggal, semua bisa terlacak, dan kita bisa membatasi penyumbang yang dananya tidak sesuai dengan undang-undang,â ujar anggota DPR dari Fraksi PAN ini.
Kedua, sambutan atas penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden, panja menyerahkan rumusan ini kembali ke raker untuk segera dihapus. Dan ketiga, mengenai pelantikan apabila pasangan capres dan cawapres terpilih berhalangan tetap. Ada dua ketegori yang bisa menjawab masalah ini, yaitu apakah perlu dirumuskan bahwa MPR akan melakukan pemilihan pasangan capres dan cawapres sebagai pengganti, atau pasangan yang menjadi juara kedua yang akan menduduki tampuk kepemimpinan tertinggi di Indonesia.
(CRF)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20324&cl=Berita
Foto: Dok. Humas MK/Ardli N