[17/10/08]
Penyelenggaraan haji seharusnya tidak dilakukan oleh âPanitiaâ. Pasalnya, panitia selalu berganti orang setiap tahun. Akibatnya, masalah penyelenggaraan haji selalu muncul tiap tahun. Pemohon minta agar penyelenggaraan dilakukan Badan Layanan Umum.
Beleid terbaru yang mengatur ibadah haji baru saja disahkan. Pada awal bulan April lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang mengesahkan Undang-Undang No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU Haji). Namun, belum genap setahun undang-undang itu terbit, seorang warga negara Indonesia mempersoalkannya ke Mahkamah Konstitusi. Adalah Boyamin Saiman yang mengajukan permohonan judicial review sejumlah pasal dalam UU Haji.
Boyamin yang mendapat gelar haji pada tahun 2006 ini bukan baru kali ini bersinggungan dengan perkara yang menyangkut haji. Pertengahan 2007 lalu, ia sempat menggugat Menteri Agama Maftuh Basyuni ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Boyamin merasa ditelantarkan ketika terjadi tragedi kelaparan di tanah suci. Gugatan ini memang berakhir happy ending. Terjadi perdamaian antara Boyamin dengan Menteri Agama. Salah satu klausal dalam perdamaian itu adalah Menteri Agama berjanji kejadian serupa tidak akan terulang.
Janji Menteri Agama itu memang belum dilanggar sampai sekarang. Namun, ada persoalan baru yang juga merugikan jamaah haji. Persoalan itu adalah jauhnya pemondokan para jamaah haji dari Masjidil Haram. âJaraknya minimal 5 kilo (kilometer, red) dan maksimal 10 kilo (dari Kabah, red),â ungkapnya. Boyamin sepertinya lelah menggugat Menteri Agama secara perdata. Ia melihat ketidakberesan ini ada pada satu pangkal, yaitu, UU Haji itu sendiri.
Boyamin menilai, penyelenggaraan haji seharusnya tidak dilakukan oleh âPanitiaâ. âPanitia itu kan bersifat ad hoc. Setiap tahun ganti,â tuturnya usai mendaftarkan permohonan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (16/10). Menurutnya, penyelenggaraan haji seharusnya dilakukan oleh suatu Badan Layanan Umum (BLU). Dengan begitu, maka akan terpenuhi asas efisiensi dan produktifitas sekaligus asas-asas pemerintahan yang baik sesuai amanat konstitusi.
Selain penyelenggara haji, Boyamin juga mempersoalkan beberapa pasal yang mengatur paspor haji. âDiberlakukannya paspor haji sebagai bentuk diskriminasi (pembedaan) dari warga negara lainnya. Bukan bentuk keistimewaan bagi jamaah haji,â katanya. Menurutnya, pemberlakuan paspor haji tidak efisien karena hanya berlaku satu tahun dan penggunaannya hanya untuk melaksanakan ibadah haji.
Pengaturan paspor haji bukan hanya terdapat dalam UU Haji. UU Keimigrasian juga menyebutkan adanya paspor haji. Boyamin tentu saja mengetahui hal ini. âTerhadap Undang-Undang Keimigrasian sepanjang menyangkut paspor haji, pemohon mengajukan uji materi dalam perkara yang tersendiri dan terpisah dari permohonan ini,â tulis Boyamin dalam permohonannya.
Berdasarkan catatan hukumonline, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat mengeluarkan 20 item kegiatan monopoli yang dilakukan oleh Departemen Agama. Salah satunya adalah mengeluarkan paspor haji.
Dana Abadi Umat
Boyamin sepertinya belum puas mengotak-atik UU Haji terbaru itu. Terakhir, ia mempersoalkan pengaturan Dana Abadi Umat (DAU). Ia menilai salah satu sumber DAU yang berasal dari sisa penyelenggaraan haji bisa ditafsirkan macam-macam. âKalau dibilang sisa, maka seakan-akan memang sengaja disisihkan,â ujarnya.
Pasal 1 angka 17 UU Haji memang menyatakan sumber-sumber DAU. Pasal itu menyatakan âDana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikatâ.
Boyamin menegaskan bahwa pengaturan tersebut tidak tepat. âKalau tertib anggaran. Sisa biaya haji itu seharusnya disetorkan ke kas negara atau dikembalikan ke jamaah,â katanya. Menurutnya DAU bukan dana milik pemerintah yang harus diatur oleh undang-undang dan dikelola oleh lembaga pemerintah seperti yang tercantum dalam UU Haji. âKarenanya Bab XIV tentang Pengelolaan DAU dalam UU Haji tidak diperlukan lagi,â ujarnya.
Uniknya, pengaturan DAU di UU Haji ini dianggap lebih rinci dibanding UU Haji yang lama. Dalam UU No 17 Tahun 1999, pengaturan DAU memang sangat singkat. Tidak ada keterangan siapa yang berhak menjadi Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana. Sehingga beberapa pejabat Departemen Agama terjerat soal kasus korupsi DAU ini.
Untuk meminimalisir hal serupa, DPR dan pemerintah mengatur secara gamblang mengenai DAU ini. Selain soal Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana, poin penting lainnya adalah pengembangan DAU melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah.
(Ali)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20304&cl=Berita
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW â obyek: http://hajj.al-islam.com/default.asp?lang=ind