by : M. Yamin Panca Setia
Bila disahkan, UU Pilpres berpeluang diuji materi.
RANCANGAN Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres) yang tengah dibahas DPR berpeluang untuk diajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran bertentangan dengan konstitusi.
Draf RUU Pilpres telah menghambat hak konstitusional (constitutional rights) kepada semua partai politik (Parpol) yang telah diberikan haknya menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) untuk mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Demikian pernyataan Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun kepada Jurnal Nasional di Jakarta, kemarin (15/10).
Menurut dia, pematokan persentase sebagai syarat bagi parpol maupun gabungan parpol yang akan mengajukan capres/cawapres setelah Pemilu Legislatif bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
"Itu (persentase syarat pengajuan capres bagi parpol, red) adalah penyimpangan konstitusi karena Pasal 6 ayat (2) juga menyatakan, parpol dan gabungan parpol sebagai peserta pemilu dapat mengusulkan Presiden. Artinya pengajuan capres dan cawapres adalah constitutional rights bagi semua parpol yang telah ditatapkan sebagai peserta Pemilu. Parpol berhak mengajukan calonnya tanpa harus perlu menunggu Pemilu legislatif," kata Refly.
Menurut dia, persentase syarat pengajuan capres berkisar 20 hingga 30 persen itu bertentangan dengan konstitusi karena constutional rights tidak boleh dikurangi oleh mekanisme UU.
"Sekarang apa salahnya membuka semua parpol untuk mengajukan capres. Kalau banyak capresnya, apa salahnya? Kan ada putaran kedua. Secara teoritik, tidak akan ada calon yang mencapai 50 persen, pada putaran pertama. Pasti ada putaran kedua, walau calon hanya empat," kata Refly.
Sementara Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap, dari dua kali survei LSI, mayoritas masyarakat yakni di atas 50 persen menyatakan, pencalonan presiden lewat parpol atau gabungan parpol mengurangi hak politik warga negara.
"Yang setuju bahwa pencalonan oleh parpol itu mengurangi hak politik warga negara di atas 50 persen. Konsisten yang menolaknya sekitar 28 persen. Kalau dibulatkan 30 persen, berarti hanya 3 dari 10 Warga Indonesia yang menolak gagasan bahwa pencalonan oleh parpol membatasi hak warga negara."
Dalam dua kali survei LSI juga menunjukan mayoritas masyarakat yakni di atas 65 persen mengusulkan jika pencalonan Presiden tidak harus lewat parpol, tetapi lewat individu atau kelompok masyarakat di luar parpol.
"Konsisten yang tidak setuju 20 persen. Itu artinya dua dari 10 warga Indonesia yang menolak gagasan itu."
Surplus Kekuasaan
Ahli Filsafat Politik UI Rocky Gerung menyatakan, telah terjadi surplus kekuasaan yang diperankan parpol, sementara legitimasinya di hadapan rakyat makin turun. Dia menyatakan, UU Pemilu telah mengurung kemuliaan prinsip citizenship lantara seolah-olah memaksa semua warga negara menjadi anggota parpol jika ingin mengaktualisasikan cita-cita politiknya khususnya menjadi Presiden.
"Warga negara yang tidak berparpol telah terdiskriminasi dengan warga yang berparpol. Diskriminasi itu terlihat karena hanya warga negara yang berparpol, yang mempunyai kesempatan lebih unggul menjadi capres dibandingkan warga yang tidak berparpol. "Ini diskriminasi yang sangat berbahaya," tegasnya.
Padahal, lanjut Rocky, kemuliaan UUD 1945 terletak pada kedudukan primer warga negara. Namun, UU Pemilu telah membuat warga negara tidak bisa berkembang karena mendiskriminasikan warga negara.
Seperti diketahui, fraksi-fraksi di DPR hingga saat ini masih alot membahas persentase suara bagi parpol yang berhak mengajukan capres dan cawapres. Fraksi Golkar mengusulkan syarat 30 persen bagi parpol dan gabungan parpol untuk mengajukan capres. Sementara Fraksi PAN mengajukan calon presiden 15-20 persen, Fraksi PPP menawarkan 20 persen, Fraksi PDIP mematok syarat 26 persen suara.
Sumber: http://www.jurnalnasional.com/?media=KR&cari=mahkamah%20konstitusi&rbrk=&id=68448&detail=Politik%20-%20Hukum%20-%20Keamanan
Foto: Dok. Humas MK/Ardli N