Para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan keterangan pada sidang pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) berpendapat bahwa kehadiran calon presiden dari jalur perorangan (capres independen) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang yang digelar Rabu (15/10) di ruang sidang pleno gedung Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, para ahli yang dihadirkan oleh pemohon uji materil UU Pilpres tersebut adalah Saiful Mujani (ahli statistik dan survey), Effendy Gazali (ahli komunikasi politik), Refly Harun (ahli hukum tata negara dan pemilu), Rocky Gerung (ahli filsafat politik), Andrinof Chaniago (ahli ilmu politik dan kebijakan), Taufiqurrahman Syahuri (ahli hukum tata negara), dan Yudi Latif (ahli ilmu politik). Pengujian UU Pilpres tersebut dimohonkan oleh M. Fajroel Rachman, Mariana, dan Bob Febrian.
Saiful Mujani memaparkan hasil survey yang menggambarkan mayoritas masyarakat menghendaki munculnya capres alternatif dari jalur perorangan atau independen). âRata-rata mayoritas masyarakat (65%) setuju adanya calon independen,â ujarnya memaparkan hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dilakukan pada Juni 2008 terhadap 1300 responden dari seluruh Indonesia.
Menurut Saiful, hasil tersebut disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap partai politik. âHanya 42% responden yang masih percaya terhadap kinerja parpol,â kata ahli survey yang juga direktur LSI ini.
Sementara ahli Refly Harun berpendapat bahwa Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 tidak secara eksplisit melarang kehadiran capres independen. Refly berpendapat UUD 1945 hanya mengatur waktu pencalonan presiden oleh parpol, yakni sebelum pelaksanaan pemilu. Sedangkan Taufiqurrahman Syahuri menganggap MK akan bertindak inkonsisten apabila menafsirkan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 tanpa membuka peluang calon independen dalam pilpres. Taufiq merujuk pada putusan MK atas uji UU Pemerintahan Daerah yang membuka peluang calon independen untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah.
Ahli politik dari Reform Institute, Yudi Latif, memaparkan dalam sistem presidensil, kepala negara bukan perpanjangan parlemen dan parpol. Karenanya, menurut Yudi, parpol tidak berhak atas hak eksklusif dalam pengajuan capres sehingga harus dibuka bagi pihak selain parpol untuk mengusung capres. Yudi juga berpendapat bahwa dalam sistem demokrasi yang baik, harus ada emergency exit apabila parpol sudah tidak bisa memperoleh kepercayaan masyarakat. Merujuk pada hasil survey LSI, emergency exit tersebut menurut Yudi adalah calon presiden independen.
âCalon independen bukan untuk membunuh parpol, tapi untuk menyehatkan parpol,â ujar Yudi menambahkan.
Senada dengan pendapat tersebut, pakar komunikasi politik Effendy Gazali, menganggap calon perorangan pada pemilu ibarat vaksin dan antibodi yang dibutuhkan dalam kehidupan demokrasi, meskipun terkadang terasa kurang enak. Terkait dibukanya peluang calon independent pada pemilihan kepala daeah, ahli komunikasi asal Universitas Indonesia ini juga mengaku kerap tidak bisa menjawab pertanyaan para mahasiswa mengenai perbedaan pilkada dan pemilihan presiden.
âMengapa dalam pilkada dibolehkan (calon independen), dalam pilpres tidak boleh?â ujarnya menirukan pertanyaan tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR berpendapat bahwa ketentuan yang diatur dalam UU Pilpres merupakan pelaksanaan dari Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Dirjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri, Soedarsono, yang mewakili Pemerintah menganjurkan kepada Pemohon apabila menghendaki dibolehkannya calon presiden independen, sebaiknya mengajukan usul perubahan UUD 1945 kepda MPR.
Sementara DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III, Nursyamsi Nurlan, berpendapat bahwa ketentuan dalam UU Pilpres tidak mendiskriminasi Pemohon karena tidak bertentangan dengan Pasla 1 Ayat (3) UU HAM dan kovenan internasional mengenai HAM. Menurut DPR, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pilpres telah sesuai dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. âCalon presiden independen justru bertentangan dengan UUD 1945,â kata politis asal Partai Bintang Reformasi ini.
Provisi Ditolak
Para Pemohon uji materil UU Pilpres sebenarnya juga mengajukan provisi kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilpres baru yang hingga saat ini masih berlangsung di DPR untuk dihentikan sementara, menunggu putusan MK atas perkara pengujian UU Pilpres ini. Permohonan provisi tersebut diajukan para Pemohon dengan menimbang agar pemeriksaan konstitusionalitas mengenai norma peluang adanya calon Presiden dan Wakil Presiden independen atau perseorangan dapat berjalan efisien dan efektif.
Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut. Menurut Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Moh. Mahfud MD, MK tidak bisa mengabulkan permohonan provisi tersebut karena tidak ada hal luar biasa yang menjadi dasar penghentian pembahasan RUU Pilpres.
âDalam Pasal 58 UU MK dinyatakan bahwa UU yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan MK. Apalagi UU yang masih dalam pembahasan, Mahkamah tidak bisa menghentikannya,â ujar Mahfud.
Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menjelaskan bahwa permohonan provisi akan diputuskan bersamaan dengan putusan mengenai pokok perkara pengujian UU Pilpres. Mengenai putusan, Mahfud menyampaikan bahwa hal tersebut bergantung dari sikap Pemerintah dan DPR.
âApabila Pemerintah dan DPR tidak mengajukan ahli tandingan, maka Majelis menganggap pemeriksaan perkara sudah cukup. Jadi, sidang berikutnya adalah putusan,â kata Mahfud. [ardli]