Rabu, 15 Oktober 2008
JAKARTA (Suara Karya): Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie tidak akan memenuhi panggilan Komisi III DPR terkait pengunduran dirinya sebagai hakim konstitusi selama dirinya masih menjabat. Ia menilai pemanggilan tersebut tidak lazim.
"Saya bukan menolak, tetapi undangan itu baru bisa saya penuhi setelah resmi berhenti dari MK, November nanti, saat sudah ada pengganti saya yang definitif," kata Jimly kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Jimly mengaku kurang yakin Komisi III DPR memanggilnya. Sebab tidak ada prosedur yang mengaturnya. "Lain halnya kalau saya langsung mengundurkan diri. Yang ini kan tidak. Kalaupun Komisi III mengundang, tentu ada prosedurnya. Tapi saya rasa, DPR tidak akan memanggil," ujarnya.
Jimly menduga rencana pemanggilan itu hanya wacana yang tidak perlu ditanggapi. Selain itu, hingga saat ini belum ada surat resmi dari Komisi III. Meski demikian, dia tidak ingin pengunduran dirinya dipermasalahkan. "Saya kan mengundurkan diri secara baik-baik. Jadi, tidak usah diperlebar ke mana-mana," tuturnya.
Komisi III DPR sebelumnya menyatakan akan memanggil Jimly sehubungan pengunduran dirinya. Komisi III menyatakan tidak bisa menerima begitu saja pengunduran diri Jimly.
"Jangan terulang lagi pengunduran diri serupa, orang yang diangkat tiga bulan mundur begitu saja," kata anggota Komisi III, Eva Kusuma Sundari. Jimly dinilai telah melecehkan DPR yang telah mengeluarkan ongkos politik untuk memilihnya sebagai hakim konstitusi.
"DPR sudah menghabiskan uang dan pikiran untuk melakukan fit and proper test, tiba-tiba dengan mudahnya diabaikan hasil seleksi DPR tersebut. Ini pelecehan terhadap DPR. Tidak menghitung berapa biaya yang sudah dikeluarkan DPR, ongkos politik ekonomi dan sebagainya. Semuanya diabaikan begitu saja. Ini preseden yang harus dihentikan," tegasnya.
Jimly sudah berketetapan hati untuk mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi akhir November. Ia sudah menyampaikan keputusannya tersebut kepada Ketua DPR, Presiden, Ketua Komisi III DPR, dan masyarakat.
Lebih lanjut Eva Kusuma Sundari mengatakan, mulai saat ini penting untuk dirumuskan kontrak politik yang menjamin seorang hakim konstitusi menjalankan tugas hingga periodenya selesai.
"Sekarang ada semangat untuk merevisi Undang-Undang No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) berbarengan dengan revisi UU Mahkamah Agung dan revisi UU Komisi Yudisial. Ketiganya memang saling berkaitan," tutur Eva.
Dengan adanya semacam kontrak politik dalam UU MK hakim konstitusi menjadi tidak gampang mundur tanpa alasan yang jelas. UU MK sebenarnya membenarkan pengunduran diri hakim konstitusi. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online
Foto Dokumentasi Humas MK