Di tengah krisis finansial global yang menghantui Indonesia, dua pucuk tertinggi kekuasaan kehakiman, MA dan MK, ikut menghadapi masalah.
Mahkamah Agung (MA) diterpa âkekosonganâ pemimpin. Kita beri tanda petik istilah kekosongan karena memang masih ada perbedaan tafsir soal itu. Sesuai penjelasan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, Ketua MA Bagir Manan yang pada 6 Oktober 2008 genap berusia 67 tahun tidak lagi menangani masalah teknis, seperti memutus perkara. Sesuai undang-undang, Bagir pensiun pada usia 67 tahun setelah diperpanjang dua tahun.
Sementara itu, Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, mendesak DPR segera menyelesaikan revisi UU MA yang memperpanjang usia pensiun hakim agung dari 67 tahun ke 70 tahun. Dengan logika itu, Bagir tak perlu pensiun. âBagir sudah meminta pensiun kepada Presiden. Namun, saya meminta dia tetap di sini, sampai menyelesaikan masalah kepemimpinan di MA,â kata Buyung Nasution.
Pembahasan revisi UU MA belum tuntas di DPR. Ada upaya memaksakan pengesahan usia perpanjangan hakim agung yang dilakukan dengan segala cara, tetapi ada juga kelompok yang menginginkan masalah kekuasaan MA dibahas bersama dengan revisi UU Komisi Yudisial maupun UU Mahkamah Konstitusi.
Belum tuntas kisah Mahkamah Agung, muncul kisah dari Mahkamah Konstitusi (MK). Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang kini hakim konstitusi, setelah tidak terpilih lagi menjadi Ketua MK, memutuskan mundur sebagai hakim konstitusi. Dalam suratnya yang disampaikan pada 6 Oktober 2008, kepada Ketua MK Mohammad Mahfud MD, ia efektif mundur pada akhir November 2008. Dan, sesuai dengan UU MK, DPR harus memilih hakim konstitusi yang diusulkan DPR.
Kita menghormati sikap Jimly, terlepas apa pun pertimbangan pribadinya, untuk mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Mundurnya seorang hakim konstitusi adalah konstitusional Jimly. Kita tak ingin kisah di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menambah gaduh persoalan bangsa ini. Kita ingin hukum dan aturan lain ditegakkan justru di lembaga yang mempunyai tugas menegakkan hukum.
MA dan MK adalah dua pucuk kekuasaan kehakiman di Indonesia. MK didesain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution). Mereka yang menghuni kedua mahkamah itu sejatinya adalah seorang negarawan. Mereka adalah para hakim, sebuah profesi yang kesepian. Hakim bukanlah politisi, akademisi, atau selebriti yang begitu mudah menanggapi isu politik yang akrab dilontarkan politisi, terlebih jika opini hakim itu menunjukkan posisi politik hukum atau politik konstitusionalitas seorang hakim.
Kita angkat masalah ini karena kita tidak ingin hakim MA dan MK terjebak pada permainan politik kekuasaan!
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/08/0100382/tajuk.rencana
foto: dok. Humas MK/Andhini SF