Wednesday, 24 September 2008
Dibentuknya Tim Telaah Konstitusi dalam rapat gabungan MPR beberapa waktu lalu menunjukkan penggumpalan wacana amendemen UUD 1945.
Wacana amendemen kelima ini salah satunya dilatari oleh dorongan DPD untuk memperkuat kewenangan kelembagaan yang ingin mempunyai hak suara (mengambil keputusan) di parlemen. Kesannya,fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPD seolah satu level di bawah DPR.
Untuk mengubah hal itu, pintu masuknya adalah amendemen konstitusi. Faktor yang memotivasi wacana amendemen kelima antara lain dominannya kekuasaan DPR (legislative heavy), konflik kewenangan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), dan pembagian kewenangan antara presiden dan wakil presiden.
Sebagai inisiator, DPD telah melakukan konsolidasi dengan beberapa lembaga tinggi negara untuk mendesak dilakukannya amendemen kelima, bahkan melibatkan presiden dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Di sini muncul kekhawatiran aspek politis dari satu lembaga negara tertentu yang mendorong terlalu jauh rencana amendemen. Karena itu,kelemahan dan kelebihan rencana amendemen UUD 1945 harus dipikirkan secara matang agar diperoleh sebuah konstitusi yang berwibawa dan sesuai konteks sistem pemerintahan Indonesia.
Kritik dan Jawaban
Terdapat pelbagai kelemahan konstitusi setelah empat kali amendemen. Pertama, kelemahan dari segi teknik penyusunan (legislative drafting) dan sistematikanya sehingga terkesan tidak rapi. Dari segi ini, penempatan dan penambahan dijumpai misalnya Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B.
Contoh pasal-pasal tersebut hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh kalangan terbatas, terutama oleh kalangan legislatif dan sekelompok kecil masyarakat. Itulah konsekuensi dari sistem addendum dalam perubahan UUD yang disepakati oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR.
Terlebih,perubahan UUD 1945 tersebut bukanlah membuat atau mengganti UUD, jadi wajar jika terkesan kurang rapi. Kedua,ketidakjelasan konsep lembaga perwakilan yang dianut oleh UUD1945.
Perlu diketahui,hingga saat ini masih terjadi silang pendapat di antara para ahli hukum tata negara mengenai konsep lembaga perwakilan, sistem satu kamar (unicameral system), sistem dua kamar (bicameral system), bahkan ada juga yang menyatakan sistem tiga kamar (three cameral system).
Penilaian itu wajar-wajar saja,tetapi dalam original intent dari pelaku sejarah, sesungguhnya dalam pembahasan di PAH I BP MPR tidak ada maksud untuk mengubah konsep lembaga perwakilan.
Keberadaan DPD sesungguhnya merupakan peningkatan dari utusan daerah yang pola rekrutmennya berubah dari diangkat menjadi dipilih langsung rakyat melalui pemilu (lihat Pasal 2 ayat1). Ketiga, konsep distribusi kekuasaan lembaga negara yang dianut oleh UUD 1945 tidak mencerminkan checks and balances.
Kondisi itu tecermin pada dominannya peran kekuasaan DPR dibandingkan kekuasaan lembaga negara yang lain. Ini sesuatu yang wajar sebagai akibat dari perubahan sistem hierarchies authority yang dipegang oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang membagi kewenangan kepada lembaga negara yang lain. Kini,sistemnya adalah functional authority yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (lihat Pasal 1 ayat 2).
Total Football atau Prosedural?
Lembaga dan siapa saja, bahkan kapan saja, bisa mengusulkan perubahan sebagai kelanjutan dari desakralisasi UUD 1945. Namun, mekanisme dan evaluasi mendalam perlu dilakukan.
Sudahkah implementasi hasil keempat amendemen itu dilaksanakan dengan baik? Jangan sampai amendemen konstitusi justru bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Karena problem konstitusi bukan sekadar amendemen,melainkan konsistensi implementasinya.
Agar amendemen UUD tidak kontraproduktif, mesti dipahami prosedur dan mekanismenya sebagaimana diatur Pasal 37. Karena itu perlu dibandingkan perbedaan antara âyang sudahâ dan âyang akanâ dalam proses mengubah UUD.
Pertama, mekanisme bebas, yang saya istilahkan dengan total football. Jamak diketahui cara ini dilakukan pada keempat amendemen yang telah lalu. Tanpa prosedur yang jelas, semua pihak diminta saran dan masukan yang akan menjadi referensi konten amendemen.
Yang terpenting adalah perubahan UUD dimaksudkan untuk keluar dari jebakan sentralisme dan otoritarianisme. Demokratisasi konstitusi pada masa itu berada di bawah bayang-bayang penguasa, karenanya lahir reformasi.
Kedua, mekanisme prosedural. Pada amendemen keempat, Pasal 37 yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur perubahan Undang-Undang Dasar. Amendemen pasal ini memberi pesan bila akan melakukan amendemen haruslah memenuhi prosedur yang ditentukan.
Bagaimana caranya? Pertama, usulan amendemen harus melalui sidang paripurna MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena itu usulan amendemen tidak boleh dilakukan hanya karena dorongan sepihak dari kalangan tertentu atau hanya dengan mekanisme pembentukan Tim Telaah Konstitusi yang dibentuk oleh kurang dari 1/3 anggota MPR.
Kedua, usulan harus jelas klausul pasal mana saja yang akan diamendemen, diajukan secara tertulis dan jelas pula alasannya. Tentu saja kita tidak mengharapkan argumentasi usulan amendemen dibuat sedemikian rupa hanya untuk memenuhi political will sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh UUD.
Ketiga, setelah usulan amendemen diterima, untuk mengubah pasalâpasal Undang-Undang Dasar dilaksanakan sidang MPR yang dihadiri sekurangâkurangnya 2/3 dari jumlah anggota. Keempat, Putusan untuk mengubah pasalâpasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurangâkurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota.
Dengan prosedur perubahan sebagaimana termaktub dalam Pasal 37, usulan perubahan UUD 1945 tak semudah membalik telapak tangan. Memang harus diakui bahwa sebuah konstitusi yang baik meniscayakan adanya dinamika dan peluang perubahan sesuai konteks zaman (living constitution).
Apa pun produk hukum yang ada, tidak akan berjalan efektif jika orang yang melaksanakan hasil UUD amendemen tidak tegas serta tidak menaati supremasi hukum yang ada. Seperti sekarang ini, setelah mengalami beberapa amendemen konstitusi, kondisi bangsa tak kunjung memperlihatkan perbaikan.
Tim Telaah Konstitusi bisa saja dibentuk, tapi semuanya terpulang kepada anggota MPR. Desakralisasi Konstitusi memang sudah terjadi, tetapi bukan berarti asal mengubah. Sense of priority mesti menjadi bahan pertimbangan! (*)
Dr Ali Masykur Musa
Anggota MPR dari PKB
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/tarik-ulur-amendemen-konstitusi-2.html