Tuesday, 23 September 2008
Tahun ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah berusia lima tahun. Sebagai salah satu organ konstitusional hasil perubahan UUD 1945, MK telah memberikan warna baru dalam dunia peradilan melalui pelaksanaan wewenang yang dimiliki.
Ada pihak-pihak yang mengapresiasi keberhasilan serta menaruh harapan terhadap peran MK di masa yang akan datang.Di sisi lain,ada pula kritik terhadap kelembagaan dan apa yang telah diperankan MK selama ini.
Semua yang telah dilakukan MK selama lima tahun ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan dan perhatian segenap komponen bangsa. Demikian pula halnya perkembangan MK di masa yang akan datang, juga akan dipengaruhi oleh pandangan dan penerimaan masyarakat.
Namun, sebagai organ konstitusi, kelembagaan MK memiliki akar yang melekat dengan keberadaan dan kedudukan konstitusi.MK harus dipahami sesuai dengan desain konstitusional sebagai lembaga peradilan konstitusi.
***
Keberadaan MK adalah institusionalisasi dari perkembangan konsep negara modern, yaitu negara hukum dan demokrasi.Kedaulatan rakyat dimanifestasikan dalam bentuk aturan hukum penyelenggaraan negara.
Aturan hukum tersebut berpuncak pada konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial seluruh rakyat yang dibentuk secara demokratis.Konstitusilah yang mengatur bagaimana dan oleh lembaga apa saja kekuasaan negara diselenggarakan.Hal itu menjadi prinsip dasar konsep rule of law and not of man.
Konstitusi selanjutnya diterjemahkan dalam ketentuan hukum yang lebih rendah dan bersifat operasional. Sebagai satu sistem hukum dan ketatanegaraan, aturan hukum tersebut tentu harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
Namun, selalu terdapat potensi adanya aturan hukum yang bertentangan dengan konstitusi karena adanya jarak dan perbedaan, baik dari sisi lembaga pembentuk, waktu maupun tingkat abstraksi materi muatan. Oleh karena itu, diperlukan adanya mekanisme pengujian aturan hukum secara berjenjang dan berpuncak pada konstitusi.
Pentingnya menjaga supremasi konstitusi dengan melakukan pengujian terhadap UU pertama kali muncul dalam praktik ketatanegaraan di Amerika Serikat (AS) pada kasus Marbury vs Madison (1803). MA AS dalam kasus tersebut membatalkan Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Walaupun konstitusi AS tidak eksplisit memberikan wewenang menguji UU kepada MA,di bawah kepemimpinan John Marshall saat itu MA menya-takan bahwa wewenang tersebut secara konstitusional melekat pada keberadaan MA yang disumpah untuk menjaga konstitusi.
Praktik di AS tersebut mengilhami Hans Kelsen yang mengonsepsikan negara sebagai suatu tata hukum nasional yang berpuncak pada konstitusi. Untuk menjamin supremasi konstitusi diperlukan adanya mekanisme pengujian UU terhadap konstitusi.
Pengujian itu tidak dapat dilakukan oleh lembaga legislatif yang membuat UU,tetapi oleh pengadilan (judicial review) berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum.Wewenang pengujian tersebut dapat diberikan kepada pengadilan umum atau dengan membentuk suatu pengadilan tersendiri,yaitu pengadilan konstitusi.
Pemikiran Kelsen itu diwujudkan dalam Konstitusi Austria 1920 dengan membentuk mahkamah konstitusi (verfassungsgerichtshoft). Dalamsejarahhukumdanketatanegaraan Indonesia, ide perlunya pengujian UU terhadap konstitusi atau UUD sudah pernah dikemukakan Moh Yamin dalam persidangan BPUPKI yang merumuskan UUD pada 1945.
Yamin mengusulkan agar MA,yang saat itu disebut dengan nama Balai Agung, diberi wewenang âmembanding âUU. Namun gagasan tersebut tidak diterima, khususnya oleh Soepomo karena dua alasan utama.Pertama,UUD yang hendak disusun tidak menganut pemisahan kekuasaan sehingga tidak proporsional jika suatu lembaga memiliki kekuasaan membanding produk dari lembaga lain.
Kedua, pada saat itu belum cukup tersedia ahli hukum yang memiliki kemampuan dan pengalaman membanding UU. Gagasan perlunya pengujian UU kembali mengemuka dalam pembahasan UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal itu dipandang penting untuk mewujudkan satu kesatuan sistem hukum nasional.
Namun yang berhasil diatur dalam UU tersebut adalah pengujian peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap UU lainnya. Sementara pengujian UU terhadap UUD tidak dapat diwujudkan karena dipandang bukan merupakan materi muatan UU,melainkan UUD.
Karena keberadaan UU diatur dalam konstitusi, ketentuan yang memberikan wewenang menguji UU juga harus diberikan oleh konstitusi. Gagasan pentingnya pengujian UU terhadap UUD kembali menguat pada saat dilakukan perubahan UUD 1945.
Hal itu terkait erat dengan penegasan supremasi konstitusi menggantikan supremasi MPR melalui perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.Ditegaskan bahwa âkedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUDâ. UUD menjadi hukum tertinggi yang menentukan bagaimana dan oleh siapa kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan.
Wewenang pengujian tersebut pada awalnya hendak diberikan kepada MA.Namun karena MA telah memiliki beban kerja yang banyak, disepakati membentuk lembaga peradilan baru di samping MA,yaitu MK. MK kemudian ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Sebagai lembaga peradilan, MK memiliki kekuasaan menyelenggarakan peradilan guna tegaknya hu-kum dan keadilan. Sesuai dengan latar belakang pembentukannya, MK memiliki empat wewenang dan satu kewajiban.
Empat wewenang MK adalah memutus pengujian UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenang-an lembaga negara,memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sementara kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden.
***
Keberadaan dan wewenang MK sebagai lembaga peradilan selalu terkait dengan konstitusi, tidak hanya dalam arti sebagai suatu dokumen hukum, tetapi juga meliputi segala materi muatan serta ide dan gagasan yang mendasarinya.
Latar belakang pembentukan dan wewenang yang dimilikinya menempatkan MK sebagai salah satu lembaga negara yang menjalankan lima fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).
Fungsi ini sesuai dengan latar belakang keberadaan MK untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Fungsi ini mewujud dalam semua wewenang dan kewajiban MK memutus perkara-perkara penting dan mendasar yang terkait dengan isu konstitusi, terutama perkara pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara,pembubaran partai politik,dan impeachmentpresiden dan/atau wakil presiden.
Fungsi kedua adalah sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution). Meskipun setiap penyelenggara negara pada prinsipnya melakukan penafsiran terhadap ketentuan dalam UUD, dalam praktik penyelenggaraan negara dapat terjadi pertentangan penafsiran.
Terhadap hal tersebut, MK sebagai lembaga pengadilan konstitusi memiliki wewenang memutus, bagaimanakah seharusnya suatu ketentuan dalam UUD harus ditafsirkan.Penafsiran MK yang termuat dalam putusan tersebut bersifat final dan mengikat sehingga harus diterima dan dilaksanakan oleh segenap penyelenggara negara dan seluruh warga negara.
Fungsi ketiga adalah sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizenâs constitutional rights). Fungsi ini terkait dengan materi muatan yang utama dari konstitusi, yaitu memberikan jaminan terhadap hak konstitusional warga negara.
Hak konstitusional itu tidak hanya harus dihormati, tetapi juga dijamin perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya oleh negara. Oleh karena itu,ketentuan UU tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara.
Perlindungan yang sama juga diberikan terhadap hak asasi manusia yang juga mendapatkan jaminan dalam UUD 1945.Oleh karena itu MK juga mengemban fungsi keempat,yaitu sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). Fungsi kelima MK adalah sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy).
Demokrasi harus senantiasa dikawal,oleh karena itu MK memiliki wewenang memutus perselisihan hasil pemilu.Fungsi ini juga mewujud dalam bentuk memutus pembubaran partai politik yang menjamin bahwa tindakan tersebut benar-benar dibutuhkan dalam masyarakat yang demokratis serta wewenang memutus pendapat DPR dalam proses impeachment presiden dan wakil presiden sehingga tidak semata-mata ditentukan oleh proses politik.
Selain itu, fungsi pengawal demokrasi juga melekat pada wewenang memutus pengujian UU dan sengketa kewenangan lembaga negara.Wewenang pengujian UU menjadi instrumen hukum untuk memastikan bahwa setiap proses pembentukan UU dan materinya sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi.
Demikian pula hubungan antarlembaga negara juga harus diletakkan dalam kerangka negara demokrasi yang dijalankan melalui wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Kelima fungsi MK tersebut melekat pada wewenang dan kewajiban konstitusional yang dimiliki.
Sebagai lembaga peradilan, di satu sisi MK dituntut bersifat pasif. MK hanya akan menjalankan wewenang dan kewajibannya jika terdapat permohonan yang diajukan kepada MK.Di sisi lain, sebagai pengadilan konstitusi, putusan MK mengikat umum, tidak hanya pihak pemohon dan pihak terkait lainnya.
Putusan MK menentukan pembangunan sistem hukum dan ketatanegaraan. Oleh karena itu putusan putusan MK tidak hanya berdasarkan segi hukum tertentu, tetapi senantiasa mempertimbangkan semua aspek kehidupan dan mengutamakan kepentingan seluruh bangsa.(*)
Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi