Selasa, 23 September 2008 | 00:32 WIB
Mohammad Fajrul Falaakh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyerahkan hasil penyelidikan tentang pelanggaran berat HAM di Talangsari, Lampung (1989), kepada Kejaksaan Agung.
Namun, Kejakgung menolak menyidik kecuali jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah dibentuk berdasar rekomendasi DPR (Kompas, 19/9/2008). Sikap ini dikemukakan Kapuspen Kejakgung, mengulang pernyataan Jampidsus. Penolakan Kejakgung, satu- satunya penyidik/penuntut pelanggaran berat HAM, memacetkan proses penegakan HAM.
Mahkamah Konstitusi menyatakan, DPR tak boleh merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, bagi pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM 2000 berlaku, tanpa hasil penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang.
Penolakan Kejakgung memperkuat ketidakpastian kebijakan penegakan HAM dan cenderung menghambat pencarian keadilan. Namun, politik penegakan HAM menunjukkan kekacauan dan perlu ditertibkan.
Hanya pengadilan HAM
Semangat reformasi untuk menangani pelanggaran berat HAM, berupa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah melalui Pengadilan HAM Ad Hoc maupun rekonsiliasi ekstra-yudisial yang melembaga.
Kesepakatan itu ada dalam Ketetapan MPR No V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Pasal 104 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 serta Pasal 4, 43 dan 47 UU No 26/2000.
Penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertujuan mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa serta rekonsiliasi nasional. Mekanisme rekonsiliasi ini berwatak state sanctioned and court related, yang didorong sebagai alternatif penyelesaian sengketa di dunia peradilan.
Namun, Mahkamah Konstitusi memiliki semangat lain. Putusan MK No 006/PUU-IV/2006 membatalkan UU No 27/2004 sehingga menghentikan proses pembentukan KKR serta menihilkan Ketetapan MPR No V/2000.
Pengacauan proses
Kini Pengadilan HAM Ad Hoc menjadi satu-satunya tempat penyelesaian. Akan tetapi, dibutuhkan keputusan politik DPR agar Pengadilan HAM Ad Hoc sah menangani pelanggaran berat HAM yang terjadi di tempat tertentu pada masa lampau (Pasal 43 Ayat 2 UU Pengadilan HAM).
Ternyata keharusan keputusan politik DPR telah menjadi eksperimentasi hukum, bahkan manipulasi, dalam penegakan HAM. Pengadilan HAM Ad Hoc hanya bekerja setelah DPR merekomendasikan pembentukannya, tetapi Pengadilan HAM âregulerâ sudah terbentuk di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Sebetulnya rekomendasi DPR bukan syarat bagi proses penyelidikan (oleh Komnas HAM) dan penyidikan/penuntutan (oleh Kejakgung). Proses penyelidikan hingga penuntutan dilakukan tanpa menyandera rekomendasi DPR sebagai syarat penyelidikan maupun penyidikan/penuntutan. Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasar rekomendasi DPR bermakna bahwa pengadilan diminta bersidang dan sah untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM masa lampau.
Pengadilan HAM Ad Hoc tidak dibentuk Kejakgung. Penolakan Kejakgung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM justru mengarah pada obstruction of justice, menghalangi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan proses penegakan hukum. Setelah MK membatalkan penjelasan Pasal 43 Ayat 2 UU Pengadilan HAM tahun 2000, DPR tak berwenang membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc HAM hanya berdasar âdugaanâ pelanggaran HAM berat di masa lampau (Putusan MK No 18/PUU-V/2007 tanggal 21/2/2008).
DPR, sebagai bukan lembaga penegakan hukum, tidak perlu membentuk tim penyelidikan dan penyidikan proiustisia, seperti Panja kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Menurut MK, DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasar hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejakgung.
DPR belum tentu tunduk pada putusan MK, yang mengatur (positive legislation) proses penegakan hukum. DPR pernah merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc hanya berdasar hasil penyelidikan Komnas HAM, untuk kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984. DPR juga pernah mengabaikan hasil penyelidikan Komnas HAM, menolak merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc setelah lebih dulu membentuk Panja Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Jika DPR sepakat dengan MK, tetapi DPR tak yakin terhadap âbukti permulaan yang cukupâ dan kesimpulan hasil penyelidikan dari Komnas HAM, tidak tertutup kemungkinan DPR meminta hasil penyidikan Kejakgung. Penolakan Kejakgung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM justru menghambat DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Harus menyidik
UU Pengadilan HAM yang tidak rinci dikacaukan. Akan tetapi, jelas Kejaksaan Agung harus menyidik pelanggaran berat HAM masa lampau tanpa syarat politik apa pun (Pasal 21 Ayat 1 UU Pengadilan HAM). Rekomendasi DPR bukan perintah kepada Kejakgung untuk melakukan atau tidak melakukan penyidikan karena kejaksaan harus melaksanakan hukum acara peradilan HAM.
Menegakkan HAM merupakan kewajiban negara terutama pemerintah (Pasal 28I Ayat 4 UUD 1945). Negara wajib menyusun peraturan perundang-undangan untuk melancarkan mekanisme kerja lembaga penegakan HAM. Presiden dan DPR bertanggung jawab untuk melancarkan proses hukum dimaksud.
Presiden dan DPR harus merevisi UU Pengadilan HAM tahun 2000 sehingga pengacauan atas proses penegakan HAM tidak terulang. Komnas HAM, sebagai lembaga yang tak berhak mengusulkan rancangan UU, perlu mengirimkan revisi UU Pengadilan HAM yang telah dihasilkan kepada DPR atau pemerintah.
Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00321040/kekacauan.penegakan.ham