Wacana soal draf RUU tentang Pornografi mengisyaratkan belum adanya satu pendapat. Masing-masing punya argumentasi sendiri.
Juga masing-masing mengklaim kebenaran. Karangan ini tidak dimaksudkan memperkeruh suasana, tetapi sebagai urun rembuk dengan hati tulus. Tujuannya, selain mengingatkan, jati diri sebuah undang-undang adalah mendahulukan kepentingan umum; jauh dari kontroversi; berpotensi dilaksanakan (applicable); dan ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai imbauan, karangan ini tidak memasuki detail wilayah pernik pasal demi pasal, tetapi sebagai ajakan mengembangkan musyawarah-mufakat, sebuah warisan budaya nenek moyang kita yang telah terbukti produktif merajut keindonesiaan yang plural.
Kita cemaskan maraknya pornografi secemas maraknya korupsi, kemiskinan, bahkan ketidakpedulian kepada penderitaan sesama. Kehadiran âsakit masyarakatâ itu kita kecam. Kita dukung upaya mencegahnya secara kuratif maupun preventif. Kita ingin membangun sebuah bangsa yang berakhlak mulia.
Sebuah UU merupakan salah satu perangkat kuratif sekaligus preventif. Agar produktif, dituntut beberapa syarat, di antaranya akseptabilitas secara publik. Dalam wacana pro-kontra RUU, persuasi diperlukan ketika jalan tengah tertutup. Dalam perbedaan pendapat sebaiknya dijauhkan cara main kuasa dan menang-menangan.
Pornografi (porne = pelacur, graphein = menulis) menurut draf RUU Pornografi per 4 September 2008 tidak hanya berurusan dengan âmenulis soal-soal pelacurâ. Kait-mengaitnya sedemikian luas, menyangkut semua bidang, mulai dari memproduksi, menyewakan, sampai menyediakan pornografi. Perlu debat publik.
Lewat UU, pornografi, persoalan yang bersifat privat menjadi milik publik. Peradaban sebagai kekayaan budaya, termasuk kecemasan terpinggirnya kelompok perempuan, dirasakan sebagai sisi lain materi yang perlu memperoleh win-win solution dalam wacana pro-kontra. Pendapat kontra tidak bisa begitu saja dianggap abreviasi (penyelewengan) dari arus umum.
Kita kutip pernyataan Dewan Pers tahun 2001 tentang pornografi. Pornografi dan kecabulan terkait dengan wilayah privat. Pelanggaran menyangkut pornografi dan kecabulan telah diatur dalam KUHP Pasal 282 dengan sebutan Pelanggaran Kesusilaan.
Mempertimbangkan kompleksitas dan keharusan ideal sebuah UU, dilandasi semangat persatuan dan membangun sebuah bangsa yang berakhlak mulia, pengundangan RUU pornografi sebaiknya dijauhkan dari kepentingan politis-pragmatis-jangka pendek.
Memutuskan sesuatu, yang masih debatable, penuh kontroversi pro-kontra, perlu dilakukan dengan hati jernih dan terbuka. Menunda dan membiarkan persoalan dingin-mengendap, hemat kita, merupakan hikmah demi masa depan kita bersama.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00280161/tajuk.rencana