Senin, 22 September 2008 | 01:08 WIB
Rancangan Undang-Undang Pornografi yang tengah digarap Panja DPR telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Kelompok yang mendukung menginginkan agar berbagai materi pornografi yang kini beredar bebas di masyarakat dapat segera ditertibkan dengan terbitnya undang-undang ini.
Kelompok yang menentang menganggap isi rancangan undang-undang tersebut multitafsir, bertendensi mengkriminalisasi perempuan dan anak, mengancam keberagaman masyarakat, dan memberi peran terlalu besar pada masyarakat untuk ikut menertibkan.
âKami setuju sekali ada pengaturan terhadap pornografi. Materi tersebut tidak boleh dikonsumsi oleh anak dan harus ada pengaturannya. Tetapi, akhirnya kami mengambil sikap menolak rancangan undang-undang tersebut,â kata Ratna Batara Munti dari Federasi Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) yang menjadi bagian Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3).
Dalam pertemuan JKP3 dengan Kompas di Jakarta, Selasa (16/9) sore, Direktur LBH APIK Jakarta Estu Rakhmi Fanani menjelaskan alasan mengapa JKP3 yang sejak awal mengawal perancangan undang-undang ini keberatan dengan draf RUU tersebut.
Keberatan pertama soal definisi. Definisi yang dicantumkan dalam Pasal 1 (lihat tabel) amat multitafsir. Sebabnya definisi itu menggabungkan antara pornografi dan pornoaksi. Alhasil, lahir definisi âgerak tubuhâ.
âSiapa yang akan menafsirkan gerak tubuh seperti apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai kesusilaan di masyarakat?â kata Estu.
Definisi ini juga menghapus batas antara ruang privat dan ruang publik, negara mengatur seksualitas yang menjadi kodrat manusia dan berada di ruang privat.
JKP3 yang mengikuti penyusunan RUU ini sejak masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi serta diajukan sebagai hak inisiatif DPR pada periode 1999-2004 menginginkan adanya pembedaan antara pornografi berat dan ringan.
Pornografi berat adalah antara lain yang melibatkan anak serta yang mempertontonkan kekerasan terhadap perempuan. JKP3 menginginkan agar pornografi berat yang melibatkan anak dan kekerasan terhadap perempuan sama sekali dilarang tanpa toleransi.
Di luar itu pornografi diregulasi dengan menghalangi akses anak pada materi itu. Di ruang privat seharusnya masih diperbolehkan orang dewasa mengonsumsi kecuali materi dengan toleransi nol.
Korban dan pelaku
Keberatan lain adalah pada isi Pasal 8. Pasal ini menyebutkan âsetiap orangâ dilarang menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal ini dianggap tidak membedakan antara anak dan orang dewasa. âAnak, apakah dia memberi persetujuan atau sengaja menjadi model, seharusnya dikeluarkan dari pasal ini karena anak yang berusia di bawah 18 tahun dianggap belum bisa dimintai tanggung jawab atas perbuatannya,â papar Badriyah Fayumi, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR secara terpisah. Badriyah yang menjadi anggota Panja RUU Pornografi menyebutkan F-KB menginginkan ada perlindungan bagi korban, terutama perempuan dan anak.
Pasal ini, kata Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Umi Farida, sama sekali tidak menyinggung tentang industri yang memproduksi materi pornografi. âIndustri hanya disinggung pada bagian sanksi,â papar Umi. Pasal ini juga menihilkan perlindungan atas anak yang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
Keberatan lain adalah pada Pasal 18 yang mengatur wewenang pemerintah daerah dalam mencegah pembuatan dan penyebaran materi pornografi. Untuk melaksanakan undang-undang, pemerintah daerah akan membuat petunjuk teknis.
Melihat pengalaman selama ini pada berbagai peraturan daerah maupun surat keputusan yang dikeluarkan kepala daerah, JKP3 mengkhawatirkan akan terjadi diskriminasi dan kriminalisasi pada perempuan. âAda banyak perda yang membatasi gerak perempuan dan mendiskriminasi perempuan. Pasal ini akan semakin memojokkan perempuan,â kata Ratna.
Pasal 21 yang membolehkan peran serta masyarakat pun dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan kekerasan di masyarakat.
Kepastian hukum
Badriyah sebagai anggota Panja mendukung penundaan pengesahan RUU ini sampai masukan dari masyarakat mendapat respons memadai dari Panja. Menurut Badriyah, F-KB juga memberi catatan pada definisi pornografi yang masih multitafsir karena undang-undang harus memberi kepastian hukum.
F-KB juga menekankan pada pentingnya memelihara keberagaman masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak lahirnya Indonesia sehingga UU ini harus melindungi adat istiadat dan budaya daerah.
Ratna berpendapat, rancangan undang-undang ini tidak dibuat secara matang. âBahkan seperti mengelabui masyarakat sebab pengujian atas rumusan setiap pasal dan apa dampaknya tidak diuji dengan saksama dan terbuka. Pasal 8 adalah contohnya,â kata Ratna.
RUU ini juga tidak menjawab bagaimana undang-undang ini akan diberlakukan, apakah diberlakukan unifikasi hukum, artinya semua daerah menerapkan hukum yang sama, atau akan disesuaikan per daerah.
Begitu beragamnya adat istiadat dan budaya daerah- daerah di Indonesia berarti pu- la gerak tubuh yang dianggap melanggar atau tidak melanggar nilai kesusilaan akan berbeda-beda di setiap daerah. Apakah keberagaman yang membentuk Indonesia akan diseragamkan undang-undang ini dengan risiko mengancam keberadaan Indonesia? (NMP/MH/BSW)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/22/01083453/tidak.dirancang.dengan.matang...