Senin, 22 September 2008 | 01:08 WIB
Proses Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Pornografi cacat karena menyalahi prosedur legislasi. Selain berpotensi memecah belah bangsa, secara teknis pun RUU itu tak layak disahkan.
Semangat RUU ini bukan regulasi, tetapi politik. Jadi, harus ditolak, ujar Moeslim Abdurrahman, cendekiawan, pendiri Al-Maun Institute, yang dihubungi Jumat (19/9) malam. Komentar senada dikemukakan oleh Patra A Zen, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Perjalanan RUU Pornografi penuh kontroversi. Ketika masih disebut RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sempat memicu kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima.
RUU itu oleh banyak pihak ditengarai mengancam kebangsaan Indonesia. âRUU seperti ini adalah âlangkah-langkah kecilâ untuk memasukkan aturan agama ke dalam regulasi nasional sebelum menyasar ke pokoknya. Lihat saja perda-perda diskriminatif, dan kecenderungan kepala daerah mengeluarkan aturan- aturan menyangkut keyakinan, yang jelas melanggar UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,â tegas Patra, yang juga menyebut surat keputusan bersama yang tak ada dasar hukumnya.
Moeslim mengingatkan, sejak awal sudah disepakati Indonesia sebagai rumah bersama. Karena itu, ia menyayangkan komentar politisi yang mengaitkan pengesahan RUU itu dengan primordialisme.
âSaya percaya, sebagian besar umat Islam di Indonesia tetap kuat rasa kebangsaannya,â kata Moeslim, âHanya sekelompok kecil orang yang berteriak kencang dan melakukan pemaksaan-pemaksaan, tetapi dibolehkan karena materi undang-undangnya tak jelas, bisa diinterpretasikan seenaknya.â
Kalau RUU seperti itu dipaksakan disahkan Pemerintah dan DPR secara sewenang-wenang, ini berarti prinsip UUD 1945 juga dilanggar. âTampaknya memang ada pihak-pihak yang terus berusaha mencoba memasukkan asas tertentu ke dalam regulasi nasional, termasuk melanggar prosesnya,â kata Patra.
Sembunyi-sembunyi
Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Pro-Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti mengatakan, tidak ada proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk RUU Pornografi. âBanyak orang tidak tahu RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sudah berubah menjadi RUU Pornografi,â ujar dia.
Ratna juga mengatakan tidak adanya uji material mengenai substansi dari RUU itu. âProsesnya melanggar UU No 10/2004 mengenai Pembentukan Perundang-undangan,â tegas Ratna.
RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003. Polemik keras dan aksi-aksi di masyarakat yang menyulut kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima membuat DPR memutuskan untuk âmenarikâ dan menyusun kembali draf RUU APP.
DPR periode 2005-2009 memasukkan RUU itu ke dalam Prioritas Prolegnas. RUU ini dibahas secara cepat. Pada tanggal 27 September 2005 terbentuk Panitia Khusus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007.
Ketentuan âpornoaksiâ kemudian dihilangkan dan RUU diperbaiki menjadi RUU tentang Pornografi. Panitia Khusus mengesahkannya pada tanggal 4 Juli 2007. Surat Presiden diajukan ke DPR pada tanggal 20 september 2007 dan rapat dengar pendapat pertama dengan pemerintah dilakukan pada 8 November 2007.
Daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan Pemerintah dan DPR tak dibahas dalam Pansus, terutama untuk pasal- pasal berbeda. Pembahasannya dilimpahkan ke Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan (Juni 2008). Bahkan, kata Ratna, banyak rapat tidak memenuhi kuorum, artinya hanya diikuti kurang dari 50 persen anggota Pansus maupun panja.
Tak kenal UU Warisan
Ratna menegaskan, dalam proses legislasi tidak dikenal adanya RUU Warisan. Pembuatan dan pembahasan RUU yang tak dapat diselesaikan DPR dalam satu periode tidak diwariskan kepada DPR setelahnya. Jadi proses legislasinya harus dimulai lagi sejak tahap perencanaan melalui daftar Prolegnas.
Bahan-bahan pada periode sebelumnya bisa saja dipakai lagi, tetapi naskah akademiknya dan RUU yang dihasilkan harus disosialisasikan untuk mendapat masukan publik.
âPada periode sebelumnya, RDPU sudah dilakukan puluhan kali, tetapi hal itu tidak berlaku lagi, terutama ketika pasal-pasal pornoaksi sudah dinyatakan dihapus dan nama RUU berganti menjadi RUU Pornografi,â lanjut Ratna.
Ia juga menyebut mekanisme Pansus yang tidak partisipatif. âDIM Pemerintah dan DPR tidak dibahas di Pansus, tetapi langsung dibahas di Panja karena naskah RUU ini telah mengalami revisi dan belum disosialisasikan. Selain itu juga memberi peluang bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap RUU ini untuk memberi masukan.â
âTata tertib DPR mengatur rapat Panja tertutup, kecuali dinyatakan terbuka,â lanjut Ratna, âDengan begitu, semakin menutup peluang partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU ini dan menunjukkan rendahnya kepekaan politik Pansus RUU Pornografi.â
Sejak pengumuman hendak disahkannya RUU itu, demonstrasi penolakan marak di berbagai wilayah di Indonesia. Barangkali ini menjadi salah satu alasan penundaan pengesahan RUU Pornografi yang rencananya disahkan tanggal 23 September 2008. Panja RUU pornografi katanya akan mengakomodasi semua masukan dan kritikan masyarakat.
Anggota Panja RUU Pornografi dari F-PDIP, Eva Sundari, mengatakan, tanggal 23 dan 24 September akan ada rapat yang mengakomodasi semua masukan dan kritikan masyarakat. Setelah Lebaran, tanggal 8 Oktober baru digelar rapat kerja.
Eva juga mengatakan, F-PDIP yang sempat keluar dari Panja akan masuk lagi ke Panja untuk mengawal masukan dan kritikan agar diakomodasi.
Namun, Moeslim Abdurrahman sekali lagi mengatakan, âSebaiknya tolak saja RUU ini.â (MH/NMP)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/22/01081554/moeslim.sebaiknya.tolak.saja.ruu.ini