JAKARTA (Suara Karya): Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) Ferry Mursyidan Baldan berharap Mahkamah Konstitusi MK) tidak mengabulkan provisi untuk menghentikan pembahasan RUU Pilpres. Bila dihentikan, penyelenggaraan Pemilu 2009 akan terganggu.
"Kita harapkan MK tak membuat putusan sela untuk menghentikan pembahasan RUU Pilpres sehingga penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai jadwal," kata Ferry kepada pers di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/9).
Ferry menyatakan hal itu menanggapi provisi yang diajukan Ketua Gerakan Nasional Calon Presiden Independen M Fadjroel Rahman dan tim hukumnya kepada MK. Provisi itu berisi permintaan kepada MK agar menerbitkan putusan sela yang meminta pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU Pilpres sebelum keluar putusan uji materiil MK terhadap UU No. 23/2003 tentang Pilpres.
Ferry mengingatkan, putusan sela tidak dikenal dalam proses pengambilan keputusan MK. Jika MK mengkaji kemungkinan menerbitkan putusan sela terkait pengujian materiil UU No.23/2003 tentang Pemilihan Presiden yang saat ini sedang direvisi DPR, MK bekerja tidak pada domain atau kewenangannya. "Jangan jadikan MK peradilan umum, nanti rusak semua," katanya.
Ferry menambahkan, tidak logis dan tak punya dasar hukum jika MK minta pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU Pilpres hasil revisi UU No.23/2003 tentang Pemilihan Presiden, sementara revisinya sendiri belum selesai.
Hal yang sama juga dikemukakan anggota Pansus RUU Pemilihan Presiden Lena Mariani Mukti. Dia ingatkan, putusan sela MK dapat menghambat pembahasan RUU Pilpres. "Dampaknya akan mengganggu penyelenggaraan pemilu," tuturnya.
Dia menambahkan, jika capres independen ingin diakomodasi dalam pemilihan presiden, harus lebih dulu mengamandemen UUD 1945. "Isi UUD 1945 itu jelas, bahwa yang bisa mengusulkan pasangan capres dan cawapres itu parpol atau gabungan parpol. Itu ada di pasal 6 ayat 2," ucapnya.
Dengan demikian, langkah yang salah bila ada pihak yang mengajukan gugatan ke MK. "UUD 1945-nya diamandemen dulu, bukannya mengajukan gugatan ke MK. Bisa kacau nanti," ujar Lena.
Sementara itu, Mendagri Mardiyanto mengatakan, berdasarkan hasil forum lobi RUU Pilpres terakhir, Rabu malam, disepakati bahwa menteri dan pejabat lembaga negara yang punya kewenangan skala nasional harus mundur ketika didaftarkan sebagai calon presiden maupun wakil presiden.
"Menteri harus mundur, termasuk pejabat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi," katanya setelah menghadiri forum lobi.
Namun, Mendagri mengatakan, tidak semua pejabat negara harus mundur. Kepala daerah, seperti gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati yang didaftarkan sebagai capres dan cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya, namun cukup dengan meminta izin. "Kepala daerah yang dipilih masyarakat cukup minta izin dalam konteks etika pemerintahan," katanya.
Mardiyanto menambahkan, pejabat lembaga negara berskala nasional harus mundur. Alasannya, bila ia masih menduduki jabatannya ketika dicalonkan akan memengaruhi pelaksanaan pilpres.
Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres Yasonna Laoly dari Fraksi PDIP mengatakan, syarat pengunduran diri pejabat negara disepakati selambat-lambatnya saat calon didaftarkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengunduran diri dinyatakan dengan surat yang dapat ditarik kembali.
Termasuk dalam lingkup pejabat negara adalah menteri, ketua Mahkamah Agung, ketua MK, pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Panglima TNI dan Kapolri.
Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, dalam forum lobi dibahas definisi pejabat negara. Pengaturan pejabat negara harus mundur, katanya, berkait dengan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan etika pemerintahan.
Menurut Ferry, forum lobi hanya membahas satu masalah, yakni pejabat negara harus mundur saat didaftarkan sebagai capres maupun cawapres. Sedangkan masalah syarat dukungan maju capres dan rangkap jabatan belum dibahas dalam forum lobi.
Dua pasal krusial lainnya, yaitu syarat pengajuan capres/cawapres serta tidak bolehnya presiden/capres terpilih merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol, belum dibahas.
Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres Andi Yuliani Paris mengatakan, kesepakatan bahwa pejabat yang maju menjadi capres/cawapres harus mundur dari jabatannya seiring pendaftaran parpol/gabungan partai politik.
Menurut dia, pejabat itu harus memberikan surat pengunduran diri secara tertulis dan tidak bisa ditarik kembali. "Surat itu tidak bisa ditarik kembali," ujar politisi PAN itu.
Hasil lobi ini, katanya, merupakan perkembangan terakhir dari kesepakatan antarfraksi di Pansus RUU Pilpres beberapa waktu lalu. Padahal, saat itu ada usul pejabat negara harus mundur dari jabatannya sepuluh bulan sebelum pelaksanaan pilpres. Namun, dalam rapat paripurna, sejumlah fraksi menarik kesepakatannya. Fraksi yang menolak di antaranya PPP. (Rully)
Sumber www.suarakarya-online.com (19/09/08)
Foto Dokumentasi MK