Mahkamah Konstitusi (MK) kembali gelar sidang pleno uji Undang-undang No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati (UU Hukuman Mati), dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli, Kamis (18/9).
Pemohon diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Ahmad Michdan dkk. merasa keberatan dengan pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak karena menyebabkan rasa sakit atau penyiksaan yang lebih lama.
Ahli Pemohon, Dr. Sun Sunatrio menjelaskan bahwa ada dua definisi mati berdasarkan Deklarasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 1985 yang kemudian telah diperbarui pada tahun 1990. Pertama, klasiknya, mati ialah berhentinya fungsi spontan pernafasan yang pasti. Kedua, bila seseorang mengalami mati pada otak sudah dinyatakan mati walaupun jantung atau ginjalnya masih berfungsi.
Eksekusi mati, menurut Sun, jika dilakukan dengan cara ditembak pada bagian jantung, jika ditembak tepat mengenai sasaran, rasa sakit yang dirasakan sekitar 7 sampai 11 detik. Rasa sakit atau penyiksaan yang timbul lebih singkat dibandingkan dengan cara digantung yang dahulu diatur dalam Pasal 11 KUHP namun sudah tidak berlaku sejak dikeluarkannya UU No. 2 Pnps No. 1964 berdasarkan asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama). âHukuman mati dengan cara digantung menimbulkan rasa sakit yang lebih lama dibandingkan dengan tembak mati. Pada saat digantung terpidana mati tetap sadar selama 5 menit lamanya, kemudian pingsan dan akhirnya mati,â jelas Sun.
Terhadap adanya potensi human error oleh pelaku eksekusi sehingga narapidana tak segera mati, Sun mengatakan jika tembakan meleset atau tidak tepat mengenai jantung maka akan menyebabkan rasa sakit yang lebih lama yakni sekitar 7 menit.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon K.H. Mudzakir memberikan keterangannya bahwa menurut hadist Islam âapabila membunuh, baikkanlah jalan membunuh ituâ. Jadi kalau harus membunuh haruslah dilakukan dengan cara baik. Kalau dengan penembakan lebih cepat mati maka dalam Islam itu dapat dilakukan. Dalam keterangannya, Mudzakir juga mengatakan kalau hukuman pancung atau penggal seperti yang dianut di Arab dipastikan tidak dapat meleset sedangkan hukuman tembak mati ada resiko error oleh eksekutor. âRasa sakit yang ditimbulkan akan lebih ringan apabila dilakukan dengan cara pancung atau penggal,â tegasnya. (Asima Frida Stephani Sinaga)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF