Investor politik pun mungkin lebih suka memilih angka 30 persen karena âmembandariâ sedikit kandidat.
M Alfan Alfian
BERAPA angka yang tepat bagi pencalonan presiden-wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik? Aturan main yang disepakati menjelang pilpres 2004 besarnya 20 persen dukungan suara dalam pemilu legislatif untuk Pilpres 2009. Tetapi, seiring dengan revisi UU tentang Pilpres, yang pembahasannya masih belum juga usai di DPR saat ini, berkembang usulan antara 15 hingga 30 persen. Dalam semangat apa angka 20 persen direvisi, padahal belum dilaksanakan?
Jawabannya jelas, semangat kepentingan partai-partai politik. Ini hanya salah satu kasus dimana perang kepentingan terjadi di DPR dalam merevisi paket UU bidang politik. Dalam perspektif ini, kita memandang para politisi DPR yang dikendalikan oleh kepentingan jangka pendek partai-partai.
Sebagaimana kita catat Pasal 5 ayat (4) UU No 23 Tahun 2003 tentang Pilpres menyatakan bahwa "Pasangan calon presiden dan wakil presiden memerlukan dukungan partai politik atau gabungan parpol yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR". Tapi, aturan itu dianggap akan berlaku di Pilpres 2009, sebab Pasal 101 Aturan Peralihan menyatakan, "Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu Anggota DPR sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah kursi DPR atau 5 persen dari perolehan suara sah secara nasional."
Inkonsistensi DPR
Masih belum usai keheranan kita pada barter politik yang mengemuka tempo dulu, dimana partai-partai besar bertukar kepentingan dengan partai-partai kecil. Hasilnya, aneh bin ajaib: kesepakatan electoral threshold sebelumnya diralat, dan akibatnya setiap partai yang punya wakil di DPR sekecil apapun, diperbolehkan ikut kembali sebagai peserta pemilu. Sayangnya, Mahkamah Konstiusi (MK) yang membatalkan keputusan itu terlambat, sehingga tidak mempengaruhi keputusan KPU yang telah menetapkan partai-partai peserta pemilu.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa DPR menjadi semacam arena persekongkolan politik yang amat serius dan aneh. Dengan telanjang, mereka memutuskan sesuatu yang bukan saja kurang masuk akal, tetapi sangat tidak konsisten dengan yang telah disepakati.
Kasus lain yang kini menghangat adalah, usulan partai-partai politik tertentu untuk merevisi lagi secara terbatas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Yang akan direvisi adalah sistem proporsional terbuka terbatas dengan syarat kemenangan 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP).
Dalam kasus tersebut, motornya adalah Partai Golkar. Melalui kepanjangan tangannya di DPR dulu, partai ini termasuk yang gencar memperjuangkan sistem 30 persen itu. Tetapi, karena perkembangan internal yang menetapkan kemenangan caleg berdasar suara terbanyak, maka gagasan merevisi secara terbatas aturan main yang belum lama disepakati muncul. Itulah gambaran inkonsistensi politik Senayan.
Tidak Masuk Akal
Angka 30 persen syarat dukungan voters ke partai atau gabungan partai politik agar bisa mengajukan kandidat presiden, diusulkan oleh Partai Golkar. Apakah ini ada kaitannya dengan target 30 persen DPP partai untuk perolehan dukungan suara ke Golkar pada pemilu legislatif? Mungkin saja. Tetapi, target sebesar itu, tidak masuk akal. Tren perolehan dukungan Golkar merosot, seiring dengan kalahnya banyak kandidat Golkar dalam pilkada provinsi, serta persaingan politik yang sangat tajam.
Tapi, terlepas darinya, apabila angka 30 disepakati, maka jumlah pasangan bersaing lebih kecil ketimbang angka-angka di bawahnya. Ini akan memaksa partai-partai berkonvergensi. Investor politik pun mungkin lebih suka hal demikian, karena "membandari" sedikit kandidat. Walaupun tidak begitu tepat, diasumsikan ongkos politik lebih rendah ketimbang terlalu banyak kandidat. Sementara bila angka 15 persen yang disepakati, konsekuensinya sebaliknya.
Belum jelas benar apakah nanti akhirnya kembali ke semula berhenti di angka 20 persen, besaran angka yang pernah disepakati untuk diterapkan pada pasca-Pilpres 2004. Besaran ini mestinya dipertahankan secara konsisten, tidak diubah-ubah semaunya.
Semua aturan main pasti punya konsekuensi, tetapi konsistensi jauh lebih penting. Yang paling penting memang kualitas calon yang diajukan ke publik. Di sinilah tantangan partai-partai.
Dosen FISIP Unas, Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, Jakarta
Sumber: http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=65492&detail=Opini
Foto: Dok. Humas MK