Pembatasan pengajuan pasangan calon wakil presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang hanya boleh dilakukan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) dianggap telah membatasi hak konstitusional warga negara.
Hal tersebut disampaiakan oleh Taufik Basari yang menjadi kuasa Pemohon dalam pengujian UU Pilpres terhadap UUD 1945 di hadapan sidang panel Majelis Hakim Konstitusi, Selasa (16/9), di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Taufik yang mewakili tiga pemohon yang mengajukan permohonan uji materil tersebut berargumentasi bahwa UUD 1945 tidak melarang pasangan capres dan cawapres independen atau melalui jalur nonparpol. Menurut para Pemohon, lanjut Taufik, ketentuan yang diatur dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 9145 bukan merupakan penghalang bagi capres dan cawapres perseorangan atau independen dan tidak dapat diartikan sebagai larangan untuk mengusulkan pasangan capres/cawapres di luar usulan parpol atau gabungan parpol.
âKeberadaan frasa-frasa dalam pasal-pasal pada UU Pilpres telah membatasi hak warga negara, khsusnya Pemohon, untuk mengajukan diri menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik atau melalui jalur perseorangann (independen),â kata Taufik.
Selain itu, para pemohon juga menganggap UU Pilpres telah diskriminatif karena memberikan hak eksklusif kepada partai politik di satu sisi dan di sisi lain menutup hak warga negara untuk memilih tidak mempergunakan partai politik sebagai saluran aspirasi untuk demokrasi.
Para pemohon juga megacu pada putusan MK sebelumnya yang membuka jalan bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Sehingga para Pemohon berharap MK memberikan putusan yang sama bagi calon perseorangan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 pasal-pasal UU Pilpres yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon independen dalam pilpres. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 1 Angka 6 sepanjang mengenai frasa âyang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politikâ, Pasal 5 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa âyang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politikâ, serta Pasal 5 Ayat (4) sepanjang frasa âhanyaâ. Para pemohon juga meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan tersebut, ketua panel Majelis Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, mengingatkan para pemohon bahwasanya saat ini Dewan Perwakilan Rakyat sedang melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) yang baru. Sehingga bila RUU Pilpres baru tersebut disahkan, berarti UU Pilpres yang diajukan pemohon sudah tidak berlaku. âJadi bila pun nanti permohonan ini dikabulkan, akan mubazir. Mempersoalkan sesuatu yang sudah tidak ada,â ujar Maruarar.
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta Pemohon menjelaskan alasan digunakannya putusan MK tentang calon perseorangan dalam pilkada. Menurut Maria, landasan hukum pilkada berbeda dengan pilpres sehingga pemohon harus memberikan argumentasi tambahan untuk memperkuat alasan tersebut. âBila Pemohon berargumen berdasarkan putusan MK tentang calon independen dalam pilkada, harus ada kajian yang berbeda,â ujar Maria.
Menjawab hal tersebut, Taufik mengatakan bahwa Pemohon menganggap karakteristik pilpres dan pilkada adalah sama, yakni pemilihan pemimpin eksekutif. âBedanya hanya pada pilkada berskala lokal, sementara pilpres berskala nasional,â ujar Taufik beralasan.
Mengenai pembahasan RUU Pilpres baru yang saat ini sedang berlangsung di DPR, Taufik justru berharap pengujian UU Pilpres yang dilakukan oleh MK dapat memberikan dorongan bagi DPR untuk juga memasukkan pembahasan mengenai calon perseorangan dalam UU Pilpres baru
âPerdebatan-perdebatan di MK bisa menjadi feeding pembahasan di DPR,â kata Taufik. Taufik juga menambahkan bahwa pembahasan RUU Pilpres tersebut hingga saat ini tidak menyinggung mengenai capres independen.
Perkara yang diregistrasi pada Kamis, 4 September 2008 dengan Nomor 23/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh M. Fadjroel Rachman (Pemohon I), Mariana (Pemohon II) dan Bob Febrian (Pemohon III). Ketiganya sebagai perorangan warga negara. Para Pemohon juga diwakili oleh kuasa hukum Taufik Basari, S.H., S.Hum, L.LM. dkk.
Menurut para Pemohon, frasa yang dimohonkan pengujiannya dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) jo Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Keberadaan frasa-frasa dalam pasal-pasal tersebut dianggap para Pemohon telah membatasi hak warga negara untuk mengajukan diri menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik atau melalui jalur perseorangann (independen). Para Pemohon juga menganggap UU a quo telah diskriminatif karena memberikan hak eksklusif kepada partai politik di satu sisi dan di sisi lain menutup hak warga negara untuk memilih tidak mempergunakan partai politik sebagai saluran aspirasi untuk demokrasi.
Pemohon I adalah aktivis prodemokrasi yang bermaksud menjadi calon presiden tanpa melalui partai politik atau jalur independen.[]ardli
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW