Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (16/9), di ruang sidang Panel Gedung MK. Sidang mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan. MK akan memeriksa dua permohonan yaitu Perkara No. 22/PUU-VI/2008 dan Perkara No. 24/PUU-VI/2008.
Perkara No. 22/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, calon anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan satu Surabaya-Sidoarjo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 55 UU a quo memperlihatkan arogansi dan diskriminasi yang membedakan anatara caleg laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama di depan hukum maupun dalam pemerintahan termasuk juga politik. Tidak dibenarkan di dalam penyusunan daftar nama caleg antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. âSemua tergantung seberapa jauh pengabdian semua kader di partai. Jika memang komposisi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, tentunya para caleg akan didominasi kaum perempuan,â kata Sholeh.
Sementara itu, Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU a quo menentukan calon anggota DPR, DPD dan DPRD terpilih ditentukan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP serta jika calon yang memenuhi syarat perolehan suara 30% lebih banyak dari jumlah kursi maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut kecil. Sebaliknya, jika calon yang memenuhi ketentuan perolehan suara 30% kurang sedangkan jumlah kursi banyak maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut.
Ketentuan ini, menurut Pemohon, tidak memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara Pemohon dengan calon legislatif yang berada di nomor urut kecil. Apabila Pemohon berada pada urutan ketujuh maka Pemohon harus bekerja keras untuk memperoleh suara 30%, sedangkan caleg yang berada di urutan kecil akan dengan mudah memperoleh kursi sebab apabila tidak ada yang memperoleh suara 30% penentuan yang memperoleh kursi akan kembali pada nomor urut caleg sesuai usulan dari partai politik. âSelain itu, jika Pemohon berada pada nomor urut besar walaupun Pemohon telah memperoleh suara di atas 30%, jika caleg pada nomor urut kecil memperoleh suara 30% juga, maka Pemohon tidak dapat memperoleh jatah kursi,â ungkap Sholeh lagi.
Sementara itu, Perkara No 24/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Sutjipto, S.H., M.Kn. (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat), Septi Notariana, S.H., M. Kn., (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn., (perorangan warga Negara Indonesia). Mereka meminta MK menyatakan bahwa Pasal 205 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 214 UU PEMILU bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal UU a quo yang dimohonkan bertentangan dengan norma-norma konstitusi karena dapat mengakibatkan terpilihnya anggota DPR yang tidak mewakili rakyat yang memilih pada daerah pemilihan. Dalam aturan a quo, ditentukan bahwa sisa suara Partai Politik peserta Pemilu dikumpulkan di propinsi untuk menentukan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)DPR yang baru di propinsi yang bersangkutan.
Para Pemohon dari kedua perkara sepakat bahwa seharusnya calon anggota legislatif yang berhak menjadi wakil rakyat ialah mereka yang memiliki jumlah suara terbanyak bukan yang berdasarkan nomor urut. âPasal 214 telah (berpotensi) mengebiri suara rakyat yang telah memilih Pemohon. Suara terbanyak (seharusnya) yang menentukan,â ujar Sutjipto.
Menanggapi permohonan ini, Ketua Majelis Panel Hakim, Arsyad Sanusi menanyakan daftar calon resmi yang dikeluarkan oleh KPUD masing-masing daerah. âHal ini untuk menilai sejauh mana kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon,â jelas Arsyad.
Menanggapi pertanyaan ini, Muhammad Sholeh mengaku bahwa KPUD Jawa Timur belum mengeluarkan keputusan resminya. Namun Sholeh siap menambahkan bukti bahwa dirinya telah dicalonkan oleh PDIP di nomor urut tujuh, dalam permohonannya. (Wiwik Budi Wasito)
Foto: Dok. Humas MK/Denny Feishal