Senin, 15 September 2008 | 00:13 WIB
Jakarta, Kompas - Masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, seperti Kalyanamitra, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH Apik, LBH Masyarakat, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau PSHK, serta Setara Institute, menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pornografi. Selain definisi pornografi yang terlalu longgar, materi dalam RUU itu dinilai diskriminatif serta berpotensi mengkriminalisasi dan mengorbankan perempuan maupun anak-anak.
Estu Rahmi Fanani dari LBH Apik, Jakarta, Minggu (14/9) di Jakarta, mengatakan, materi dalam RUU itu juga tidak mengakomodasi keberagaman Indonesia. Sebagai sebuah produk hukum, ukuran yang digunakan dalam RUU itu terlalu subyektif.
Menurutnya, sebaiknya DPR memfokuskan diri bukan pada perilaku individu. Dalam RUU itu, pornografi dimaksudkan sebagai materi seksualitas yang dibuat manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Tidak hanya longgar atau mereduksi seksualitas, definisi itu berpotensi mengkriminalisasi seseorang atas persepsi subyektif. Ia menduga ada motif politik di balik rencana pengesahan RUU itu. âKepentingannya ingin mendulang suara lebih banyak dari kelompok masyarakat,â ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR, Eva K Sundari, mengatakan, definisi yang longgar dalam RUU Pornografi itu memang bisa disalahgunakan. âItu dapat dipakai sewenang-wenang,â tuturnya.
Selain itu, ia juga mengkritik maksud dan tujuan dari ketentuan itu, yaitu mengatur moralitas yang bukan wewenang DPR. Sebaiknya RUU itu dibahas dulu pasal per pasal dan kemudian dirumuskan kembali sebelum diserahkan kepada pemerintah. Ia menilai ada cacat prosedur dalam proses pembahasan RUU itu.
âSejauh ini rencana pembahasan pasal per pasal sebagaimana pernah disepakati tidak dilakukan dan RUU itu diserahkan ke pemerintah,â katanya. (jos)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/15/00134852/perempuan.dan.anak-anak.berpotensi.dikriminalisasi