by : Adhitya Cahya Utama
Pertemuan untuk mencari jalan keluar dari polemik penyidikan kasus Talangsari.
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) belum menganggap final putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Makanya mereka tidak mau menyidik sebelum ada pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc," kata anggota Komnas HAM Kabul Supriyadi di Jakarta, Kamis (11/9). Dua hari lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan tidak bisa menyidik kasus pelanggaran HAM berat Talangsari selama belum terbentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pengadilan dibutuhkan sebelum proses penyidikan, di antaranya untuk mengeluarkan izin bagi kejaksaan bila akan menggeledah, menyita, dan menahan seseorang. Padahal, penyelidikan Komnas HAM terhadap insiden tahun 1989 itu mengungkapkan, sejumlah unsur pelanggaran HAM berat dipenuhi, seperti pembunuhan, pengusiran secara paksa, penyiksaan, penganiayaan, dan perampasan kemerdekaan yang dilakukan sistematis dan meluas.
Kabul mengatakan, putusan MK yang dikeluarkan Februari 2008 lalu menyebabkan kedua belak pihak berbeda pandangan. Menurut komnas, dengan putusan MK, dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc DPR tidak akan serta-merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang.
"Jadi kejaksaan harus membuktikan adanya pelanggaran HAM terlebih dahulu sebelum DPR merekomendasikan," katanya. Kejaksaan beranggapan sebaliknya.
"Ini jadi seperti meributkan mana yang lebih dulu, ayam atau telur," katanya. Untuk mencari jalan keluar, komnas akan mengadakan pertemuan dengan kejaksaan dan DPR.
Mengenai waktunya, Kabul masih menunggu respons resmi kejaksaan setelah berkas Talangsari dikirim ke kejaksaan, Senin (15/9), pekan depan. Mantan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste Agus Widjojo mengatakan, dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM, institusi yang kewenangan berpegang dengan prosedur hukum yang ada. Yakni UU Pengadilan HAM termasuk dengan revisi yang diputuskan MK.
Di tempat berbeda, Kejagung masih belum beranjak dari posisinya. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung BD Nainggolan mengatakan, salah satu pasal dalam UU 26/2000 menyatakan, perbuatan yang melanggar HAM berat yang terjadi sebelum UU tersebut berlaku akan diperiksa di Pengadilan HAM Ad Hoc.
"Dalam pelaksanaan penyidikan, ada hal-hal tertentu yang harus ada izin dulu dari ketua Pengadilan HAM, baru dilakukan kejaksaan sebagai penyidik," katanya di Jakarta, Kamis (11/9). Misalnya, dalam penyitaan barang bukti, perpanjangan dan waktu penyidikan, perpanjangan masa penahanan, dan pengajuan praperadilan oleh tersangka.
"Semua itu harus ada izin dari pengadilan, tentunya dalam hal ini Pengadilan HAM Ad Hoc," kata Nainggolan seraya menampik tudingan kejaksaan enggan menyidik dan berlindung di balik pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dia balik menuding pihak yang keberatan belum membaca dan memahami UU 26/2000. "Kalau belum ada Pengadilan HAM Ad Hoc, bagaimana, misalnya, perpanjangan penahanan? Kami minta izin ke siapa?" katanya. n Abdul Razak
Sumber: http://www.jurnalnasional.com/?media=KR&cari=mahkamah konstitusi&rbrk=&id=64964&detail=Politik - Hukum â Keamanan