[11/9/08]
Menteri Hukum dan HAM menilai tembak mati tidak menimbulkan penyiksaan atau penganiayaan, melainkan hanya rasa sakit. Ia meminta dibedakan antara rasa sakit dan penyiksaan.
Sidang pengujian UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang diajukan tiga terpidana mati bomb Bali âAmrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera- memasuki agenda mendengarkan keterangan pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta pun hadir memberi keterangan di hadapan majelis hakim konstitusi. Tujuannya jelas, yaitu mempertahankan agar UU yang sedang diuji itu tak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Andi mengaku tak sependapat dengan argumen yang diajukan pemohon. Kuasa hukum pemohon dari Tim Pembela Muslim (TPM) berargumen UU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati mengandung unsur penyiksaan sehingga dianggap bertentangan dengan Pasal 28I UUDâ45. Pasal itu memuat hak asasi setiap orang untuk tidak disiksa.
Menurut Andi, tak ada unsur penyiksaan dalam pelaksanaan tembak mati yang diatur dalam UU tersebut. Ia mengatakan UU menentukan tembakan harus ditujukan ke jantung terpidana mati. âJantung adalah tanda hidup utama manusia,â tuturnya di ruang sidang MK, Kamis (11/9). Sehingga, kematian terpidana diharapkan berlangsung dengan cepat. Namun, bila terpidana belum juga mati, maka akan dilakukan tembakan ke kepala terpidana.
Jeda antara tembakan pertama ke jantung dan tembakan pamungkas ke kepala ini yang sebenarnya digugat oleh TPM. Anggota TPM, Wirawan Adnan, menilai jeda beberapa menit tersebut bisa menimbulkan penyiksaan bagi terpidana. Andi berbeda pendapat. Menurutnya, proses itu hanya menimbulkan sakit, bukan penyiksaan. âSakit dan penyiksaan itu berbeda,â tuturnya.
Andi mengatakan sakit atau rasa sakit tidak masuk kategori penyiksaan atau penganiayaan. Ia mengakui akan sulit mencari metode eksekusi mati yang tak menimbulkan rasa sakit. âKarena rasa sakit merupakan konsekuensi logis dari eksekusi mati,â tambahnya.
Selain itu, lanjut Andi, untuk menentukan suatu eksekusi mati menimbulkan rasa sakit, kurang sakit, atau sangat sakit hanya bisa dinilai oleh terpidana. âHanya terpidana yang sudah mati yang bisa merasakan. Kita yang masih hidup hanya bisa mengkira-kira,â tegasnya. âApa tembak mati, gantung, pancung, atau kursi listrik yang lebih baik,â tambahnya.
Wirawan memang menegaskan bahwa rasa sakit memang konsekuensi logis dari kematian. âKita tak mempermasalahkan rasa sakit,â tuturnya. Ia tetap yakin metode tembak mati pasti menimbulkan penyiksaan. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mencoba menengahi perdebatan ini. Menurut dia, seharusnya ada penafsiran yang seragam terkait penyiksaan. âKriteria apa yang kita gunakan untuk mengukur (penyiksaan,-red),â tuturnya.
Pengaturan tentang penyiksaan memang bisa ditemukan dalam berbagai ketentuan. Di antaranya, dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), UU No.5 Tahun 1998 yang mengesahkan konvensi anti penyiksaan, serta UU Hak Asasi Manusia.
Tidak Cacat Formil
Selain menanggapi uji materi, Andi juga menanggapi pengujian formil terhadap permohonan yang diajukan oleh Amrozi cs. Dalam permohonannya, Amrozi cs memang mengajukan uji materi dan uji formil sekaligus. Dalam uji formil, pemohon menilai pembentukan UU Tata Cara Pidana Mati itu tak sesuai dengan aturan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai UUDâ45.
Andi mengatakan pada periode itu, sekitar tahun 1960-1966, memang terjadi ketidaktertiban hierarki peraturan perundang-undangan. Buktinya, dengan adanya penetapan presiden (PNPS) yang berfungsi sebagai UU. Namun, lanjutnya, setelah itu ada penertiban hierarki peraturan perundang-undangan dengan keluarnya TAP MPR XX/MPRS/1966.
Dengan keluarnya TAP itu, jelas Andi, dilakukan legislatif review terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk PNPS. âAda PNPS yang dicabut, ada juga yang menjadi bahan untuk UU, atau ada yang ditingkatkan menjadi UU,â jelasnya. Salah satu PNPS yang naik pangkat menjadi UU adalah UU Tata Cara Pidana Mati ini.
Wirawan kembali membantah. Ia mengatakan tak pernah mempersoalkan posisi PNPS dan UU dalam pengajuan formilnya. Ia mengaku mempersoalkan UU itu yang dibentuk oleh DPR GR (Gotong Royong) yang pemilihannya tak dilakukan oleh rakyat. âLagipula UUDâ45 menyatan UU dibentuk oleh DPR RI, bukan oleh DPR GR,â tuturnya.
Andi terlihat tersenyum mendengar argumen Wirawan ini. Walaupun tak dipilih dengan cara seperti sekarang, DPR GR merupakan perwakilan rakyat yang secara de facto eksis pada saat itu. Ia mencontohkan dengan pemilihan presiden secara langsung dengan pemilihan presiden lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). âApa legitimasi presiden yang dipilih oleh MPR itu berkurang?â pungkasnya.
(Ali)
Sumber: www.hukumonline.com