Kamis, 11 September 2008 | 11:56 WIB
JAKARTA, KAMIS â Hukuman mati itu bukan penyiksaan. Rasa sakit yang ditimbulkan merupakan konsekuensi logis dari hukuman mati tersebut.
Hal ini diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta dalam sidang pleno uji materi UU No 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, rasa sakit berbeda dengan penyiksaan. Rasa sakit dalam dunia kesehatan berarti proses tidak mengenakkan yang dirasakan seseorang secara wajar. Sakit itu pasti ada dalam setiap hukuman mati. Sementara penyiksaan, kata Andi, merupakan proses yang sengaja menimbulkan rasa sakit.
"Pada dasarnya, sangat sulit membuat mati seseorang tanpa melalui proses sakit. Sebab, hanya terpidana matilah yang memperkirakan mana yang lebih sakit, apakah dipancung, digantung, atau ditembak," ujar Andi yang mewakili pemerintah dalam sidang pleno dengan agenda dengar pendapat pemerintah, DPR, dan ahli pemohon, Kamis (11/9). "Kesimpulannya, hukuman mati bukan penyiksaan. Sakit itu konsekuensi logis dari hukuman mati," tambahnya.
Oleh karena itu, lanjut Andi, pemerintah tidak sependapat hukuman mati dapat dilakukan dengan cara lain, seperti yang diajukan terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi cs. Menurut UU No 2/Pnps/1964, pengertian ditembak sampai mati itu ditembak tepat pada jantung. Asumsinya, jantung itu sumber kehidupan utama manusia. Jika masih menunjukkan tanda-tanda tereksekusi tidak mati, maka akan ditembak di kepala sebagai tembakan pamungkas.
Amrozi cs mengartikan pelaksanaan hukuman mati dalam UU tersebut, sangat dimungkinkan terjadi jeda waktu antara tembakan pertama dan kematian yang disebabkan tembakan terakhir. Oleh karena itu, Amrozi yang diwakili Tim pembela Muslim mengasumsikan telah terjadi penyiksaan karena terpidana dianggap dalam kondisi sangat menderita.(BOB)
Sumber: www.kompas.com