Tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam UU No. 2/pnps/1964 tidak manusiawi dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk tidak disiksa berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU a quo sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pemohon juga menginginkan adanya pillihan alternatif bagi terpidana untuk memilih cara pelaksanaan eksekusi mati baginya.
Demikian highlight permohonan yang dibacakan oleh Kuasa Hukum Amrozi cs., Ahmad Michdan dari Tim Pembela Muslim, dalam perkara No. 21/PUU-VI/2008, Kamis (11/9), di ruang sidang pleno MK.
Sidang yang mengagendakan acara mendengarkan keterangan dari Pemerintah, DPR, serta Ahli dari pemohon, yang diketuai oleh H. A. Mukthie Fadjar, ini berlangsung singkat. Pasalnya, saksi dan ahli yang diajukan Pemohon tidak hadir pada sidang tersebut. Sidang kemudian hanya mendengarkan keterangan dari Pemerintah.
Selain itu, dalam permohonan uji formilnya, pihak Pemohon menganggap bahwa DPR GR (Gotong Royong) tidak memiliki legitimasi dalam pembuatan UU a quo karena anggotanya diangkat dan ditetapkan oleh Presiden tanpa melalui mekanisme Pemilu sesuai Pasal 19 ayat (1) UUD 1945.
Pemohon juga mengajukan permohonan provisi untuk menunda pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap pemohon. âDikhawatirkan tuntutan akan gugur bila pemohon yang bersangkutan telah meninggal dunia karena telah dieksekusi,â papar Kuasa Hukum.
Adapun keterangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta, menyatakan hak konstitusional Pemohon tidak dirugikan atas berlakunya Pasal 14 ayat (3) UU a quo. Pemerintah berpendapat bahwa pelaksanaan eksekusi mati tersebut tidak ditujukan untuk memberikan penyiksaan terhadap terpidana mati, melainkan merupakan konsekuensi logis keputusan hakim yang bersifat mengikat.
Meskipun, sambung Andi, pada dasarnya eksekusi mati pasti menyebabkan rasa sakit atau proses sakit, namun bukan berarti itu merupakan penyiksaan. âRasa sakit atau proses sakit dan penyiksaan adalah dua hal yang berbeda, di mana penyiksaan merupakan keadaan yang tidak mengenakkan yang dilakukan dengan sengaja,â jelas Andi ketika membacakan keterangan pemerintah.
Mengenai permintaan pilihan cara pelaksanaan eksekusi mati, pemerintah menyatakan ketentuan tersebut telah diatur dalam UU a quo yakni dengan ditembak sampai mati. Meskipun, lanjut Andi, secara eksplisit, Pasal 11 KUHP yang menentukan cara pelaksanaan eksekusi mati dengan digantung belum dicabut, akan tetapi UU No. 2/pnps/1964 tetap berlaku berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Lex Priori.
Menanggapi keterangan dari pemerintah, pihak Pemohon mempermasalahkan adanya âjeda waktuâ proses penembakan dengan kematian. Proses yang tidak diperlukan inilah yang dianggap Pemohon sebagai suatu penyiksaan. Mereka berpendapat bahwa penembakan termasuk dalam kriteria cruel and unusual punishment (hukuman yang kejam dan tidak biasa).
Berdasar hal itu, maka pemohon meminta agar terpidana mati dapat memilih sendiri cara pelaksanaan eksekusi mati terhadapnya tanpa mengurangi esensi dari pidana itu sendiri yakni memaksa. Pihak pemohon juga menganggap terdapat dualisme hukum yang berlaku mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi mati, sehingga perlu disikapi akan kepastian hukumnya.
Sidang Pleno berikutnya rencananya akan digelar pada Kamis (18/9) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak Pemohon. (Andes Novytasary)