Ahmad Taufik, wartawan majalah Tempo
Tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Mukhlas, sudah mulai diisolasi (Koran Tempo, 20 Agustus). Berarti ketiga pelaku bom Bali 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, itu tinggal menunggu hari menuju eksekusi mati. Aroma maut pun sudah dekat, kendati para pengacaranya meminta eksekutor menunggu putusan uji materi Mahkamah Konstitusi mengenai cara pelaksanaan hukuman mati.
Ketiga "mujahid" itu, melalui kuasa hukum mereka, resmi mengajukan uji materi dan formal atas Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Dalam permohonan uji formal, mereka menilai pembentukan undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan undang-undang itu dilakukan dengan cara penetapan presiden yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Anggota DPR Gotong Royong juga ditetapkan dan diangkat presiden tanpa pemilihan umum sebagai mana ketentuan konstitusi. Mereka menilai materi Undang-Undang Hukuman Mati bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945, karena menyiksa terhukum mati. Dalam ketentuannya disebutkan, hukuman mati dengan ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Cara ini dianggap akan menimbulkan penderitaan sebelum mati.
Sebenarnya hukuman mati dengan cara ditembak sudah sejak lama ditolak ketiga terpidana mati itu. Dalam tayangan eksklusif sebuah televisi swasta, ketiganya meminta hukuman mati dilakukan dengan cara dipancung. Menurut mereka, hukuman pancung lebih "islami". Walaupun yang mereka bilang, sesuai dengan ajaran Islam, cara hukuman itu belum tentu benar. Ada cara-cara hukuman yang berbeda di berbagai negara kini. Terlepas dari manusiawi atau tidak, jenis hukuman mati antara lain di depan regu tembak, kursi listrik, dan suntik mati.
Memang lucu permintaan hukuman mati dengan cara dipancung. Jika mau dihukum pancung, seharusnya mereka melakukan perbuatan itu di Arab Saudi, atau di tempat-tempat yang memberlakukan hukum pancung atas kejahatan seperti itu. Mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga merupakan kelucuan lain. Sebab, sebelumnya mereka menganggap pemerintah Negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini sebagai pemerintahan yang menjalankan hukum-hukum kafir. Otomatis pemerintah tak harus ditaati, sebagaimana ayat yang sering disitir kaum Asy ariyah, "Taatilah Allah, Rasul, dan ulil amri di antara kamu."
Sebenarnya mempercepat hukuman mati ketiganya menolong mereka ke puncak "kesyahidan". Jika mereka jadi dihukum mati, seperti permintaan mereka dalam sebuah tayangan khusus sebuah televisi swasta tersebut, "Tidak perlu kita tangisi." Sebab, mereka merasa sebagai pejuang Islam, dan mendapat tempat "lebih baik" di akhirat sana.
Seharusnya, "kita" muslim kebanyakan yang tak sepakat dengan aksi segelintir orang itu pun tidak menjadikan mereka "pahlawan" atau syahid, karena perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang luhur dan penuh keteladanan, seperti yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat setelahnya. Imam Samudra dan kawan-kawan bukanlah representasi pejuang Islam, walaupun mereka dibela oleh sekelompok pengacara yang menamai diri Tim Pembela Muslim.
Dalam ajaran Islam, perbuatan mereka itu disebut al-harabah atau kejahatan terhadap ciptaan Allah. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 33, disebutkan jenis hukuman terhadap pelaku terorisme. Terjemahannya: "sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di bumi adalah, dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar."
Tafsir turunnya surat ini, menurut buku Tafsir Nurul Quran, berkaitan dengan sekelompok orang kafir yang datang ke Madinah dan menjadi muslim. Mereka lelah dan sakit. Karena itu, Nabi SAW memerintahkan agar mereka ditempatkan di daerah yang beriklim baik di luar Kota Madinah. Mereka juga diizinkan memanfaatkan susu unta-unta zakat di sana. Setelah mereka sehat kembali, mereka menawan gembala-gembala muslim yang menggembalakan unta-unta tersebut yang tinggal di sekitar tempat itu, memotong tangan dan kaki mereka, membutakan mata, serta merampok unta-unta mereka. Rasul memerintahkan menangkap mereka dan memperlakukan sama seperti yang mereka lakukan terhadap penggembala tersebut.
Kejahatan seperti yang terjadi pada zaman Nabi itu, dalam masa yang lebih modern sekarang, bisa digolongkan sama dengan menggunakan bom, granat, atau senjata api, seperti yang dilakukan ketiga terpidana mati tersebut. Ayat tersebut menyebutkan subyek dan tujuan, yaitu perang melawan masyarakat yang menyebarkan kerusakan di atas bumi. Hukuman berat di atas menunjukkan perhatian Islam pada permasalahan ini. Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang serangan berupa apa pun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar.
Islam berorientasi pada perlindungan pada si lemah, tertindas. Umat Islam diharuskan senantiasa membela orang-orang tertindas. Namun, tak boleh salah jalan (sesat) seperti yang dilakukan ketiga terpidana mati itu dan kelompok serupa di mana pun berada. Syekh Muhammad Ali Tashkiri, cendekiawan muslim yang baru-baru ini datang ke Indonesia dalam pertemuan cendekiawan Islam se-dunia (ICIS), berpendapat, bahkan perbuatan seperti itu tergolong terorisme. Menurut Tashkiri, salah satu golongan kejahatan dari enam golongan yang termasuk dalam terorisme, antara lain, pengeboman atas area yang berpenduduk menggunakan senjata kimia; menyerang kapal terbang sipil, bandara nasional, kendaraan komersial, dan turis; serta metode-metode sejenisnya yang secara universal dikutuk dalam peperangan.
Jadi apa lagi yang ditunggu? Jika hukuman mati itu jadi dilaksanakan, mungkin peristiwa itu menjadi pelajaran (ibrah) bagi kita semua dan orang-orang yang ingin coba-coba melakukan perbuatan seperti itu. *
*) Artikel ini pendapat pribadi.
Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/09/11/Opini/krn.20080911.142077.id.html