MAJELIS Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana membentuk tim yang bertugas menelaah secara komprehensif perubahan UUD 1945. Pembentukan tim itu hakikatnya pengakuan bahwa masih ada kekurangan dalam konstitusi yang sudah diamendemen empat kali itu.
Pengakuan ketidaksempurnaan konstitusi itu sepatutnya pula disertai dengan keinginan MPR untuk membenahi konstitusi agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Reformasi memang membuat konstitusi tidak lagi dipandang barang keramat dan sakral.
Perubahan konstitusi itu hendaknya diletakkan di atas landasan filosofis untuk lebih memperkukuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Harus jujur diakui, hasil empat kali amendemen konstitusi masih banyak bolongnya. Empat kali amendemen itu memang sukses menambah jumlah butir ketentuan dasar dua kali lipat lebih dari 71 menjadi 199 butir, tetapi, sebagai contoh, belum sepenuhnya berhasil menjawab perkembangan aspirasi warga mengenai demokrasi.
Sebutlah aspirasi untuk mencalonkan presiden dari kalangan independen. Adalah hak warga untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Akan tetapi, hak itu hanya diberikan kepada partai politik. Itu jelas sebuah bolong besar dalam konstitusi yang harus segera diisi. Sebagai gambaran, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan memberi hak kepada perseorangan untuk menjadi calon kepala daerah.
Semula amendemen yang dimulai pada 1999 itu juga bertujuan menyeimbangkan kekuasaan yang kelewat besar di tangan eksekutif. Celakanya, amendemen itu malah melahirkan ketidakseimbangan baru karena memberikan kekuasaan eksekutif yang terlalu besar kepada parlemen.
Contohnya, presiden tak punya lagi hak prerogatif untuk sendirian dapat mengangkat duta besar. Presiden juga tidak bisa sendirian mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI dan Kapolri. Untuk itu diperlukan persetujuan DPR. Jikalau DPR tidak setuju, mau apa presiden? Mau apa, sekalipun presiden dipilih langsung oleh rakyat?
Semua itu menunjukkan amendemen konstitusi telah salah kaprah. Negara ini menganut sistem presidensial, tetapi di dalamnya menggunakan praktik sistem parlementer yang mencekik leher kewenangan presiden.
Konstitusi juga setengah hati membentuk perwakilan rakyat dengan sistem dua kamar atau bikameral yang kuat. Dua kamar dalam parlemen mestinya didesain untuk saling mengawasi. Oleh karena itu, DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai perwakilan wilayah harus dibuat setara.
Dominasi DPR atas DPD dalam konstitusi harus segera diakhiri. Dominasi itulah yang antara lain menyebabkan anggota DPR tidak malu-malu menggadaikan hak konstitusionalnya dalam banyak urusan menyangkut daerah. Misalnya, urusan mengubah fungsi hutan lindung sampai menyeret anggota DPR masuk penjara.
Semua itu contoh persoalan yang memerlukan amendemen konstitusi. Untuk itu MPR rupanya memandang perlu membentuk tim penelaah konstitusi.
Namun, waktu bagi MPR sekarang tinggal sisa. Waktu empat tahun telah terbuang percuma tanpa MPR sekarang menghasilkan sesuatu yang layak dikenang sejarah.
Ada jalan yang lebih efisien, yaitu MPR dengan hati lapang menggunakan draf perubahan konstitusi yang telah dengan susah payah dan kerja keras dihasilkan Dewan Perwakilan Daerah. Sudikah DPR memakainya? Tidakkah ego DPR terlalu besar untuk menerima kenyataan itu?
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Mjk0Mzk=