Sejak ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dibatalkan Mahkamah Konstitusi, perusahaan tidak boleh lagi memecat berdasarkan alasan kesalahan berat. Kesalahan pekerja harus dibuktikan dulu lewat putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
âPutusan ini, sepanjang pengalaman saya bersidang di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) Jakarta, adalah putusan yang sangat bagus,â ucap Sholeh Ali via telepon, Selasa (9/9). Kepala Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers ini mengomentari putusan majelis hakim yang mengabulkan sebagian gugatannya.
Di PHI Jakarta, LBH Pers bertindak sebagai kuasa hukum Benny Hendris. Benny adalah sales group head di PT Hikmat Makna Aksara (HMA) -penerbit Majalah Ekonomi dan Bisnis Trust- yang bekerja sejak 1992.
Pada Juni 2007, ia dipecat lantaran dituduh memalsukan tanda tangan Direktur Usaha HMA Laurentius Pramono untuk mencairkan advance cash sebesar Rp50 ribu. Terang saja Benny membantahnya. Cerita yang benar versi Benny, adalah ia terpaksa mengajukan advance cash untuk keperluan menemui klien perusahaan. Saat itu Benny menyodorkan kwitansi advance cash kosong, tanpa tanda tangan siapa pun. Bagian keuangan langsung mencairkan kwitansi itu.
Setelah melalui proses bipartit dan mediasi di Disnakertrans DKI Jakarta, perselisihan Benny dengan HMA berlanjut ke PHI Jakarta. Tiga bulan bergulir di pengadilan yang terletak di bilangan Pancoran, Jakarta itu, perkara tersebut akhirnya diputus majelis hakim pada Selasa (9/9).
Majelis hakim yang dipimpin Lexsi Mamonto dalam putusannya mengabulkan sebagian gugatan Benny. âTuntutan provisi yang kami ajukan tidak diterima hakim,â tutur Ali. Selebihnya, tuntutan Benny yang meminta agar PHI menyatakan sahnya PHK beserta dengan kompensasinya diterima hakim. âJumlah kompensasi PHK yang dikabulkan hakim lebih kurang sebesar Rp81,4 juta.â
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim lebih sependapat dengan argumentasi kuasa hukum Benny. Mengenai tidak sahnya PHK yang dilakukan perusahaan misalnya. âMenurut hakim, PHK yang dilakukan tergugat adalah PHK yang melanggar hukum,â tukas Ali.
Pihak HMA sendiri mempunyai dalih bahwa sanksi PHK yang dijatuhkan kepada Benny sudah sesuai dengan peraturan perusahaan. Perbuatan Benny yang dituduh memalsukan tanda tangan dikategorikan sebagai kesalahan berat. Sanksinya adalah pemecatan.
Di sini lah hakim tidak segendang sepenarian dengan argumentasi HMA. Menurut hakim, seperti dituturkan Ali, adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 012/PUU-I/2003 yang membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, tidak bisa membuat perusahaan seenak hati mem-PHK pekerjanya dengan alasan kesalahan berat. âKarena tergugat dinilai melanggar hukum, maka PHK yang dilakukan menjadi tidak sah,â ujar Ali menirukan pendapat hakim.
Meski PHK yang dilakukan perusahaan dinilai tidak sah, hakim tidak lantas memerintahkan tergugat untuk mempekerjakan kembali Benny. Hakim bahkan dalam pertimbangannya menyatakan bahwa hubungan kerja Benny dengan HMA memang harus diputuskan.
Mengenai kompensasi PHK, majelis hakim menyatakan agar HMA membayar kompensasi berupa pesangon sebesar dua kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja sebanyak satu kali ketentuan dan uang penghargaan masa kerja. âKompenasi itu karena PHK yang diajukan pekerja atas kesalahan pengusaha seperti diatur dalam Pasal 169 UU Ketenagakerjaan,â jelas Ali.
Sampai berita ini diturunkan, pihak HMA belum bisa dimintai komentarnya. Upaya menelepon dan berkirim pesan singkat kepada Bambang Aji Setiady, Direktur Produksi HMA tidak membuahkan hasil.
Yang jelas, putusan ini setidaknya menjadi tamparan yang kedua kalinya buat manajemen HMA atas perseteruan dengan karyawannya. Akhir tahun lalu, HMA juga harus menelan pil pahit. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya pada 17 Desember 2007, memerintahkan HMA untuk membayar pesangon kepada tiga orang karyawannya. Mereka adalah redaktur senior Bambang Bujono, penanggung jawab rubrik Rusdi Amarullah Mathari, dan reporter Bajo Winarno. Semua dari bagian redaksi.
Dalam putusan bernomor 297 K/PHI/2007 ini, majelis hakim memerintahkan agar HMA membayar kompensasi kepada trio karyawannya. Totalnya mencapai Rp 294 jutaan. Bambang Bujono yang paling besar mendapatkan kompensasi, yaitu Rp226 juta. Rusdi Mathari mendapat Rp47,9 juta. Sedangkan Bajo Winarno beroleh Rp20,3 juta.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis membenarkan alasan perusahaan mem-PHK ketiga karyawanya. Demi efisiensi dan ketidakmampuan keuangan perusahaan adalah alasan perusahaan melakukan PHK. Putusan ini menguatkan putusan-putusan di bawahnya.(IHW)
Sumber www.hukumonline.com (10/09/08)
Foto http://dinas-nakermobduk.malangkab.go.id/images/depan.jpg