JAKARTA (Suara Karya): Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) secara terbuka. DPR juga diharapkan tidak menghambat pembahasan substansi RUU tersebut.
Permintaan itu dikemukakan Ketua Divisi Peradilan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Ratnaningsih di Jakarta, Minggu (7/9). Ratna mengatakan, DPR jangan bermain-main dengan substansi RUU Pengadilan Tipikor, sehingga tidak menghambat pemberantasan korupsi.
"Kami melihat ada beberapa indikasi bahwa DPR dan pemerintah berupaya untuk menghambat pemberantasan korupsi. Misalnya menyangkut lambannya pembahasan RUU tersebut oleh pemerintah dan DPR," ujarnya.
Indikasi yang tampak ke publik, Ratna menambahkan, menunjukkan sikap politik DPR yang tidak ingin ada Pengadilan Tipikor yang independen. Sehingga, hal ini bisa mengakibatkan pemberantasan korupsi menjadi lumpuh dengan cara mengamputasi kewenangan.
"Anggota Pansus yang tidak mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi, dikhawatirkan mempereteli kekuatan pengadilan. Kita tidak bisa mengabaikan pertarungan KPK dan DPR sebagai wakil partai," ujarnya.
Pernyataan hampir senada dikemukakan pengamat politik Arbi Sanit. Ia mengatakan, akibat gencarnya KPK melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah anggota DPR, memunculkan kekhawatiran akan terjadinya konflik tajam antara DPR dan KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Oleh karena itu, ia menambahkan, kecurigaan tentang banyaknya kepentingan politik dari anggota dewan, dikhawatirkan akan dapat melemahkan kewenangan kedua lembaga tersebut.
"Jika muncul kecurigaan seperti itu, memang beralasan. Selama ini, DPR sudah terbukti mengisi undang-undang dengan kepentingan mereka sendiri. Supaya tidak terjadi pemasungan Tipikor dan KPK, rakyat bersama media massa dan kelompok lainnya harus aktif mengawal pembahasan RUU Pengadilan Tipikor secara ketat," ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor Nasir Jamil menyatakan, secara konstitutional Pengadilan Tipikor ada di bawah MA. Namun yang perlu didorong, adalah rekruitmen hakim yang profesional, mandiri, dan bersih.
"Mungkin perlu untuk diberi jaminan atas independensi hakim. Misalnya tidak bisa diberi sanksi dalam menjalankan tugas. Sehingga, rekruitmen hakim Pengadilan Tipikor harus dilakukan secara terbuka. Baik dalam memilih hakim karier atau nonkarier," ujarnya.
Meski demikian, ujar dia, karena Pengadilan Tipikor ada di bawah MA, nantinya dapat menggunakan perangkat pengadilan yang ada di MA.
Ia juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap komposisi hakim yang mayoritas hakim nonkarier. Ia mengaku cenderung memilih hakim karier yang lebih banyak karena yakin masih banyak hakim karier yang memiliki integritas. Sementara itu Ketua Badan Pengurus LBH Masyarakat Taufik Basari mengatakan, DPR harus mengesahkan UU Pengadilan Tipikor akhir tahun 2008 ini. Jika tidak rampung, maka besar kemungkinan penyelesaian RUU itu menjadi terkatung-katung.
Sebab, katanya, semua anggota DPR sibuk dengan urusan sendiri terkait Pemilu 2009. Sementara batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sampai Juni 2009. (Sugandi/Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (08/09/08)
Foto http://www.dpr.go.id/ast/img/pic/5595.kompleks-mpr-dpr.png