Oleh Siti Nurbaya *
Sekarang sudah bukan zamannya lagi seorang birokrat menyelesaikan pekerjaannya karena takut kepada atasan. Perkembangan situasi serta perubahan format dan sistem politik memberikan pengaruh kepada prinsip-prinsip kerja jajaran birokrasi.
Juga, jajaran birokrasi sekarang sudah lebih terbuka, terlihat oleh masyarakat luas, bukan saja karena perkembangan instrumen aturan, (tetapi) terutama lebih banyak disebabkan semakin terbukanya arus informasi. Setiap hari media cetak dan elektronik memberitakan berbagai skandal birokrasi.
Secara teoretis, langkah eksplorasi media besar-besaran atas suatu skandal pejabat atau birokrat merupakan bagian dari kontrol terhadap birokrasi, di samping instrumen kontrol lainnya, yaitu akuntabilitas dan kontra-birokrasi (misalnya membentuk lembaga-lembaga serupa atau quazy-government).
Di Indonesia, seluruh instrumen kontrol itu sedang berlangsung secara simultan dan sporadik berkembang dengan latar belakang yang berbeda. Pertama, atas keputusan politik yang ditunjukkan dengan beberapa produk legislasi yang berujung pada pembentukan komisi-komisi independen yang sebetulnya mempunyai tugas yang serupa dengan tugas unit-unit kerja lembaga eksekutif, seperti Komnas HAM, Komisi Penyiaran, dll. Komisi-komisi seperti ini dapat dinilai sebagai unit 'kontra-birokrasi" atau quazy eksekutif dari unit yang menangani subjek serupa.
Kedua, dukungan politik yang sangat kuat dan kental terhadap pemberantasan korupsi akibat banyaknya perilaku korupsi. Ketiga, upaya-upaya pengenalan, penegasan, dan peningkatan akuntabilitas publik bagi seluruh pejabat birokrasi.
Birokrasi semakin dituntut bertanggung jawab kepada masyarakat. Tanggung jawab itu diwujudkan dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat dan juga dalam bentuk penilaian masyarakat kepada mereka.
Bagaimana rakyat menilai birokrasi sesungguhnya adalah bagaimana rakyat merasakan bahwa hak-haknya yang dilindungi negara telah terpenuhi dengan kerja birokrasi tersebut. Bagaimana hak-hak rakyat itu diatur, sesungguhnya, itulah bagian penting keberadaan konstitusi.
Pada prinsipnya, konstitusi bersifat merangkum hubungan antara negara dan warga negara. Juga merupakan penegasan akan ruang-ruang otoritas atau kekuasaan pemerintah serta kebebasan perorangan warga negara.
Menurut Jerre S. Williams dalam buku Constitutional Analysis in A Nutshell (1979), ada empat fungsi konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara.
Pertama, untuk penataan sistem pemerintahan secara nasional. Kedua, untuk mengatur atau mengendalikan hubungan antara pemerintah nasional (pusat) dan pemerintahan daerah (sub-pusat atau sub-nasional). Ketiga, merumuskan dan mejaga kebebasan perorangan (personal liberty). Keempat, menjaga atau mempersiapkan pemerintah untuk senantiasa menjaga kelangsungan negara.
Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara meliputi; pertama, konstitusi untuk memberdayakan negara. Misalnya, meskipun India sudah merdeka pada 1947, konstitusi India baru diadopsi pada 1950. Demikian pula Amerika Serikat, meskipun sudah ada deklarasi kemerdekaan pada 1776, konstitusi mereka baru diratifikasi pada 1789.
Kedua, konstitusi untuk pemantapan nilai-nilai bangsa serta sasaran nasional, di mana konstitusi itu merangkum nilai-nilai politik, idealisme, dan sasaran-sasaran dalam bernegara.
Ketiga, konstitusi untuk mendukung dan menjaga stabilitas pemerintahan, mendistribusikan tugas-tugas kekuasaan dan fungsi di antara lembaga-lembaga negara, serta memberikan acuan atau pedoman dalam beraktivitas. Sebagai contoh, misalnya, dalam hal mekanisme, hubungan, dan dalam pengaturan serta ajudikasi dan penyelesaian konflik. Keempat, konstitusi untuk melindungi kebebasan, yang sering diartikan dengan membatasi kekuasaan pemerintah untuk melindungi kepentingan rakyat.
Hubungan antara konstitusi dan birokrasi bukan saja enak didengar dalam pengucapan, tetapi justru sangat prinsip saling mengait. Tujuan dan fungsi konstitusi baru dapat tercapai bila dijalankan. Sumpah jabatan presiden pun menegaskan akan menjalankan konstitusi. Itu tentu saja dalam arti yang luas dan menyeluruh.
Dalam pengejawantahannya, jajaran birokrasi di bawah presiden sampai ke daerah-daerah harus berpijak pada konstitusi dalam menjalankan tugas. Tentu saja di antara prinsip-prinsip dalam konstitusi itu ada yang diatur rinci dalam UU dan seterusnya PP, perpres, perda, dan lain-lain.
Oleh karena itu, sangat jelas pijakan dasar dalam kerja birokrasi ialah konstitusi. Lebih jauh lagi, refleksi tugas-tugas seorang birokrat terhadap tujuan dan fungsi konstitusi perlu sering-sering dilakukan karena perkembangan negara kita sedang mengalami perubahan yang pesat.
Refleksi untuk melihat apakah ada nilai-nilai yang harus lebih dimantapkan lagi ataukah ada nilai-nilai yang sedang terganggu. Demikian juga dengan sasaran dan tujuan kita bernegara, apakah ada yang sedang terganggu dan sebagainya.
Jajaran birokrasi perlu terus-menerus melakukan refleksi konstitusi dalam derivat tugas-tugasnya. Sebagai contoh, sangat jelas nilai-nilai bangsa kita, antara lain, keanekaragaman dan kemajemukan, dengan perubahan situasi, bukannya tidak mengalami 'goyangan". Banyak peristiwa dan kasus muncul yang mengusik hal tersebut.
Demikian pula, sasaran dan tujuan bernegara kita sedang mengalami "goyangan-goyangan" sampai munculnya hak angket BBM dan sebagainya. (Pada fase sekarang belum tepat kalau kita katakan sebagai "guncangan". Karena itu, sebut saja "goyangan").
Dengan gambaran itu, jelas seorang birokrat harus memiliki kepekaan terhadap penerapan konstitusi dalam arti yang riil diterapkan pada kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Birokrasi yang demikian dapat dikatakan sebagai birokrasi dengan ciri kenegarawananan (state-manship).
*. Siti Nurbaya , ketua Steering Committee Institute Reformasi Birokrasi -Indo Pos
Sumber: http://www.jawapos.com/
Foto: dok. Humas MK