Mantan Hakim Konstitusi Harjono menilai tak semua UU yang didanai oleh asing itu bertentangan dengan UUD 1945.
Sejumlah aktivis lintas generasi berkumpul di sebuah café di bilangan Jakarta Selatan. Wajahnya tampak gundah memikirkan negara ini. Para aktivis yang terdiri dari golongan tua dan aktivis gerakan mahasiswa itu sedang merancang gerakan besar. Mereka geram dengan tindakan pemerintah yang seenaknya menaikkan harga gas elpiji. Padahal, gas elpiji telah menjadi bahan pokok karena diproyeksikan menjadi pengganti minyak tanah.
Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryanto sempat nimbrung dalam diskusi tersebut. Ia menyampaikan pandangannya seputar persoalan yang digundahkan para aktivis itu. Menurutnya titik pangkalan persoalan ini adalah hilangnya kedaulatan proses legislasi di Indonesia. Seorang aktivis pun mengeluarkan celetukan. âBagaimana pemerintah dan DPR punya kedaulatan legislasi? Wong semuanya diatur dari luar,â tutur aktivis tersebut.
Sudaryanto mencatat ada banyak undang-undang sebagai produk legislasi DPR dan pemerintah yang spiritnya mengikuti letter of intent hasil perundingan dengan IMF. âMisalnya UU Migas,â ungkapnya. Data yang dimiliki oleh Direrktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar lebih seram lagi.
Zainal meyakini sebagian besar peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya alam dibantu oleh pihak asing. Ia menunjuk UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal.
Kedua pengamat ini bukan asal cuap. Lembaga donor asal Amerika Serikat, USAID, bahkan secara gamblang menyatakan ikut membantu dalam pembuatan UU Migas pada Oktober tahun 2000. âUSAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000,â demikian bunyi salah satu kutipan dokumen yang dapat diakses di situs resmi USAID.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun geram dengan keadaan ini. Koalisi Anti Utang (KAU) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta agar bantuan-bantuan asing dalam proses legislasi ini diusut tuntas. âUntuk memperbaiki pengurusan energi Indonesia sudah waktunya, intervensi lembaga bantuan dan pendanaan asing di sektor energi ini diurai akarnya,â tulis kedua LSM tersebut dalam siaran persnya.
Diuji Ke MK
Bila ada UU yang dianggap bermasalah, hukum di Indonesia membuka dua jalur penyelesaian. Mengajukan pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau dengan meminta DPR untuk merevisi UU yang dianggap bermasalah itu. Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengatakan agak sulit bila UU yang didanai asing ini dibawa ke MK.
Harjono meminta sejumlah pihak untuk berpikir jernih. Ia memang mengakui banyak UU yang terkait dengan asing. Bahkan, Harjono menilai UU Pasar Modal merupakan hasil copy paste dengan UU Pasar Modal di Amerika Serikat. Namun, semua itu tak serta merta bertentangan dengan konstitusi. âKalau toh ada bantuan asing, maka apa materinya bertentangan dengan UUD 1945. Kan belum tentu,â tuturnya.
UU Migas, menurutnya, merupakan contoh yang nyata. Meski sejumlah kalangan âgerahâ dengan adanya bantuan USAID, toh ketika diuji ke MK, UU Migas itu masih tetap eksis. Harjono mengatakan memang ada ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK, tapi itu hanya beberapa. Karenanya, upaya-upaya mempertanyakan UU Migas memang tak tepat lagi. âKalau sudah pernah diuji berarti konstitusionalitasnya sudah teruji,â tegasnya.
MK memang hanya menggunakan UUD 1945 sebagai pijakan untuk menguji UU yang dianggap bermasalah. Namun, pengaruh asing tidak hanya berhenti sampai UU, melainkan menghinggapi juga proses amandemen UUD 1945. âKonstitusionalisme Indonesia semakin disusun sedemikian rupa mendukung kaum modal,â papar Zainal beberapa waktu lalu.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (04/09/08)
Foto www.google.co.id