Selasa, 2 September 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Pembentukan komisi untuk mengkaji secara komprehensif perubahan Undang-Undang Dasar 1945 harus dilakukan melalui persetujuan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR. Pembentukan komisi itu tak bisa dilakukan pimpinan MPR karena mereka tak memiliki kewenangan untuk itu.
Demikian pendapat anggota Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) MPR Lukman Hakim Saifuddin, secara terpisah, Senin (1/9) di Jakarta.
Menurut Akil, pimpinan MPR hanya mungkin mengagendakan pembentukan komisi itu di Rapat Paripurna MPR. âPimpinan MPR tak punya kewenangan. Namun, kalau mengagendakan rapat boleh,â papar Akil. Namun, hal itu pun masih menimbulkan problematika karena kewenangan MPR diatur limitatif dalam konstitusi.
Akil menambahkan, perubahan konstitusi adalah kebutuhan bangsa ke depan. MPR harus merespons hal ini.
Akan tetapi, komisi yang akan dibentuk itu harus diberi limitasi waktu untuk menyelesaikan tugasnya, misalnya dua tahun, dan beranggotakan pakar. Setelah itu, hasilnya baru diserahkan kepada MPR, seperti pernah dilakukan Komisi Konstitusi yang dibentuk MPR periode 1999-2004.
Senin, sembilan hakim konstitusi dipimpin Ketua MK Mahfud MD menemui pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pimpinan MPR.
Jangan giring presiden
Lukman Hakim berpendapat, yang berwenang membentuk komisi itu adalah MPR. Sidang MPR masa akhir jabatan pada September 2009 bisa dimanfaatkan untuk itu.
âNamun, Presiden jangan diseret-seret untuk bertindak inkonstitusional dengan meminta memprakarsai mengkaji UUD. Itu jebakan politis,â ujarnya.
Menurut Lukman, Presiden tidak dalam posisi untuk mengusulkan perubahan UUD, apalagi memprakarsai mengevaluasinya. Kewajiban presiden adalah memegang teguh UUD, sebagaimana isi sumpahnya.
Peneliti pada The Habibie Center, Andrinof Chaniago, Senin, secara terpisah, mengingatkan, pemerintah dan DPD boleh saja antusias, terkait ide pembentukan komisi untuk pengkajian perubahan UUD 1945. Namun, komisi itu harus bersifat sementara atau ad hoc serta dibubarkan setelah tugasnya diselesaikan.
âKomisi nantinya harus berisi pakar dan orang yang mempunyai kompetensi terkait urusan ketatanegaraan, hukum, kebijakan, dan kepentingan publik. Mereka juga harus berasal dari kalangan yang bebas kepentingan politik,â ujar Andrinof. Anggota komisi tak boleh mewakili pemerintah, MPR, DPR, atau DPD.
Terkait proses pembentukan komisi pengkajian UUD 1945, Andrinof mengusulkan agar dimulai di pemerintah. Presiden Yudhoyono menyerahkan nama calon anggota komisi, yang lalu diserahkan dan dipilih MPR.
Secara terpisah, politisi Haryanto Taslam menilai, usul pembentukan komisi untuk mengkaji UUD 1945 lebih sebagai bentuk pengakuan atas tak beresnya proses perubahan konstitusi sejak awal. Karena itu, pemerintah lebih baik mengembalikan pada UUD 1945 awal. (sut/dwa)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/02/00545910/pembentukan.komisi.harus.di.sidang.paripurna.mpr
foto: dok. Humas MK